KONTESTASI Pilpres 2019 semakin menghangat mendekati hari H pemungutan suara pada 17 April nanti. Terakhir menjelang debat capres kedua Capres Nomor Urut 02 Bapak Prabowo Subianto yang menyatakan 25% Anggaran Negara “bocor”. Sampai hari ini isu tersebut masih menjadi perdebatan dibeberapa kesempatan.
Bila kita berkaca pada APBN 2018 dimana Belanja Negara dianggarkan sebesar Rp2.220,7 T, maka 25% anggaran yang bocor setara dengan Rp555,755 T. Sungguh bukan jumlah yang sedikit, wajar jika kemudian publik merasa khawatir dan resah. Selaku pembayar pajak, masyarakat tentu punya hak bertanya kemana saja pajak yang mereka bayarkan disalurkan.
Pernyataan tersebut beliau sampaikan saat berpidato di HUT ke-20 Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) di Hall Sport Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (6/2/2019). Beliau menyatakan bahwa menurut perhitungan beliau yang sudah ditulis pula dalam buku, kebocoran dari anggaran rata-rata ditaksir sebesar 25% bocor.
Tentu kita bertanya-tanya, dimana kebocoran itu berada? Dan bila benar sebesar itu apa mungkin tidak terlihat dengan kasat mata? Seharusnya dengan besarnya taksiran kebocoran tadi akan sangat mudah melihatnya dari sisi makro maupun kinerja output yang sudah dicapai dibandingkan dengan anggaran yang sudah terserap dalam satu tahun anggaran. Untuk itu mari kita lihat dari sisi anggaran belanja dimana saja total Rp555.755 T itu berada.
Jika kita lihat realisasi APBN 2018, realisasi Belanja Negara Tahun 2018 adalah sebesar Rp2.202,2 T atau 99,2% dari yang dianggarkan. Belanja Negara sendiri terbagi menjadi Belanja Pemerintah Pusat dengan realisasi sebesar Rp1.444,4 T dan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa dimana realisasinya sebesar Rp757,8 T. Berdasarkan jenis belanjanya, komponen Belanja Pemerintah Pusat terdiri dari: (i) Belanja Pegawai Rp346,7 T; (ii) Belanja Barang Rp3377 T; (iii) Belanja Modal Rp184,9 T; (iv) Pembayaran Bunga Utang Rp258,1T; (v) Subsidi Rp216,8 T; (vi) Belanja Hibah Rp1,5 T; (vii) Bantuan Sosial Rp83,9 T dan terakhir Belanja Lain-lain sebesar Rp15,6 T. Kemudian Transfer Ke Daerah terdiri dari: (i) Dana Perimbangan sebesar Rp668,6 T; (ii) Dana Insentif Daerah Rp8,2 T lalu ada pula (iii) Dana Otonomi Khusus Dan Keistimewaan DIY Rp21,1 T. Dan juga Dana Desa sebesar Rp59,9 T.
‘PR’ Pemerintah
Secara makro, berdasarkan data realisasi diatas dapat kita katakan bahwa APBN 2018 terencana dan terselenggara dengan sangat baik dan optimal dimana realisasi belanja negara mencapai 99,2%, merupakan yang tertinggi sejak 2014. Di sisi lain pendapatan negara tercapai melebih target sebesar 102,5% sehingga defisit anggaran (1,76%) dan defisit keseimbangan primer (1,8%) menurun tajam dan merupakan yang terkecil sejak tahun 2012.
Memang masih terdapat pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang baru mencapai 5,15% tetapi sudah meningkat dari tahun sebelumnya. Hal itu pun lebih banyak disebabkan faktor eksternal dan juga dialami oleh sebagian besar negara-negara di dunia dimana beberapa bahkan mengalami minus dalam pertumbuhan ekonominya.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut juga disertai dengan inflasi yang dapat dijaga di level 3,13% lebih rendah dari target 3,5% pada APBN. Tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan pun berhasil dijaga di angka 4,95% dari target 5.2%. Hal lain yang perlu diingat bahwa pencapaian tersebut dicapai ditengah tekanan ekonomi global yang sangat kuat dan tanpa melalui proses APBN Perubahan atau APBNP yang lazimnya dilakukan oleh Pemerintah di tengah tahun anggaran dikarenakan terjadinya perubahan asumsi dan belanja. Pertumbuhan pembiayaan anggaran tahun 2018 mengalami negatif 18,1% dengan didukung penurunan pembiayaan SBN hingga 18,9%, hal ini menunjukkan pengurangan tambahan utang di tahun 2018. Ya, utang yang diambil pemerintah tahun ini lebih rendah dari tahun sebelumnya. Selanjutnya hal lain yang dapat dijadikan tolak ukur adalah keberhasilan pemerintah menekan angka kemiskinan ke arah single digit dimana pada September 2018 persentasenya 9,82% dan ini merupakan titik terendah sepanjang sejarah. Pada bulan September 2018 juga tercatat gini ratio mengalami penurunan dibanding periode tahun sebelumnya yakni sebesar 0,384. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama periode tersebut terjadi perbaikan pemerataan pengeluaran di Indonesia.
Dari sisi ouput, pada tahun 2018 pemerintah melakukan penguatan kualitas belanja sehingga perannya dalam perekonomian lebih optimal dan mendukung pencapaian berbagai sarasan pembangunan. Reformasi kebijakan belanja negara juga konsisten telah dilakukan sejak tahun 2014 dengan mengalihkan belanja konsumtif ke belanja yang lebih produktif. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya pos belanja subsidi energi dari Rp341,8 T di 2014 menjadi Rp94,5 T pada APBN 2018. Penuruan pos belanja subsidi energi kemudian diikuti dengan naiknya anggara pendidikan dari Rp375T di 2014 dan saat ini mencapai Rp492,5 T. Anggaran infrastruktur dari Rp154,7T menjadi Rp415 T. Anggaran perlindungan sosial dari Rp84,7 T menjadi Rp385,2 T. Dan juga anggaran kesehatan dari sebelumnya Rp59,7 T menjadi Rp123,1 T.
Bila digali lebih dalam pada tahun 2018 ini pemerintah melalui Kementerian Lembaga berhasil membangun 561,8km jalan baru dan jalan tol, 7.673m jembatan, 8 bendungan baru, 562km’sp jalur kereta api dan 4 bandara baru. Melalui dana desa sendiri yang disalurkan ke 74.953 sejak tahun 2015 telah berhasil membangun 191.600km jalan desa, 24.820 posyandu, 50.854 PAUD, 8.983 pasar desa, 1.140.378 meter jembatan, 58.931 unit irigasi, 4.175 unit embung, dan 37.830 kegiatan BUMDES. Pencapaian tadi hanyalah beberapa contoh out put yang telah dicapai oleh pemerintah. Masih banyak lagi tentunya yang akan terlalu panjang kalau dijabarkan disini.
Membedah Pos Belanja
Setelah melihat capaian kinerja pemerintah diatas, tentu kemudian kita akan bertanya “Dimana Rp555,755 T itu berada?”. Dengan capaian kinerja diatas tentu betapa angka Rp555,755 T terasa sangat besar namun sangat susah untuk dicari dan dikumpulkan. Mari kita bedah dengan mulai dengan mengesampingkan pos-pos belanja dengan kemungkinan terjadi kebocoran terendah yaitu Belanja Pegawai dan Pembayaran Bunga Utang yang masing-masing sebesar Rp346,7T dan Rp216,8T. Kedua pos belanja tersebut memiliki kemungkinan terjadi kebocoran terkecil atau bahkan dapat kita bilang hampir tidak ada karena peruntukannya yang sudah sangat jelas sehingga tidak mungkin terjadi mark up pada pos-pos tersebut.
Belanja pegawai adalah belanja yang merupakan kompensasi terhadap pegawai baik dalam bentuk uang atau barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah di dalam maupun di luar negeri baik kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Sedangkan Pembayaran Bunga Utang adalah belanja pemerintah untuk pembayaran bunga (interest) yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang (principal outstanding) baik utang dalam maupun luar negeri yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman jangka pendek atau jangka panjang.
Berdasarkan penjelasan 2 klasifikasi jenis belanja diatas makan dapat terlihat bahwa komponen dan dan dasar penggunaan belanja 2 pos tersebut sangat jelas, hal itu yang membuat hampir mustahil terjadi kebocoran di 2 pos belanja tersebut. Dengan mengesampingkan 2 pos belanja tersebut berarti hanya tersisa anggaran Rp1.638,7 T yang harus kita bedah lebih lanjut untuk mendapatkan angka Rp555,755 T.
Selanjutnya pos belanja Subsidi Rp216,8T. Belanja Subsidi adalah belanja atau alokasi anggaran yang diberikan pemerintah kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah atau pihak ketiga lainnya yang memproduksi, menjual, mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak agar harga jualnya dapat dijangkau masyarkat. Terbagi menjadi 2 yaitu Susidi Energi (BBM, Listrik dll) dan Subsidi Non Energi (pupuk, benih dll). Proses belanja subsidi lebih rumit dibandingkan belanja-belanja pemerintah lainnya. Hal ini disebabkan pada prosesnya subsidi terlebih dahulu dibayarkan dan ditalangi oleh perusahaan negara, lembaga pemerintah atau pihak ketiga lainnya pihak ketiga.
Setelah itu subsidi yang dibayarkan akan ditagihkan kepada Pemerintah. Pemerintah berkewajiban membayar setelah tagihan tersebut diaudit oleh BPK RI. Dalam prosesnya sering terjadi perbedaan antara hasil audit dan nilai yang ditagihkan, umumnya hasil audit lebih kecil dari nilai tagihan. Setelah proses audit selesai pemerintah akan membayar sebesar hasil audit dari BPK. Dengan proses yang sedemikian ketatnya memang masih dimungkinkan kebocoran anggaran tapi lebih disebabkan persoalan administrasi dan nilainya pun tidak akan signifikan apalagi mencapai persentase 2 digit. Semakin berat bukan untuk mengumpulkan Rp555,755 T?
Kita beralih ke pos belanja bantuan sosial sebesar Rp83,9T. Bantuan sosialsendiri berupa transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk didalamnya bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. Pengeluaran ini dalam bentuk uang/ barang atau jasa kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, bersifat tidak terus menerus dan selektif. Salah satu program unggulan pemerintah dibidang perlindungan sosial adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yaitu program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat PKH.
Program Perlindungan Sosial yang juga dikenal di dunia internasional dengan istilah Conditional Cash Transfers (CCT). Pada tahun 2018 pemerintah melakukan perluasan cakupan PKH menjadi 10juta KPM, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 6juta KPM. Proses penyalurannya by name by addres serta melalui bank-bank pemerintah yang telah ditunjuk sehingga melalui proses verifikasi yang lebih baik untuk meminimalkan penyimpangan di lapangan.
Selain PKH pemerintah tentunya masih memiliki program-program lainnya seperti Subsidi Beras Sejahtera, Kartu Keluarga Sejahtera dll. Dan seperti halnya program PKH, program-program tersebut disalurkan cashles dan merupakan satu-kesatuan dari Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Dengan sedemikian banyaknya program perlindungan sosial dan besarnya cakupan KPM tentu anggaran sebesar Rp83,9T tersebut akan terasa sangat kecil apalagi bila terjadi kebocoran.
Kita lanjutkan ke pos belanja terkecil dalam APBN yaitu Belanja Hibah yaitu pengeluaran pemerintah berupa transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa, bersifat tidak wajib yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan tidak mengikat serta tidak terus menerus kepada pemerintahan negara lain, pemerintah daerah, masyarakat dan organisasi kemayarakatan serta organisasi internasional. Pada realisasi APBN 2018, realisasi belanja hibah adalah sebesar Rp1,5T. Beberapa contoh penggunaan belanja hibah pada APBN 2018 adala hibah untuk MRT DKI Jakarta, hibah untuk pengelolaan sampah dan hibah pembangunan sumber air bersih ke beberapa pemda.
Belanja lain-lain adalah merupakan belanja dengan serapan terendah pada realisasi APBN 2018 yaitu sebesar 23% dari pagu yang dianggarkan. Hal tersebut wajar karena memang sifatnya yan tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah. Realisasi belanja ini sendiri pada realisasi APBN 2018 adalah sebesar 15,6T dimana sebagian besar digunakan untuk tanggap darurat, penanganan dan rehab rekon bencana. Sebagai contoh untuk kebutuhan tanggap darurat, penanganan dan rehab rekon bencana di NTB dan Sulteng pemerintah setidaknya telah menyalurkan dan sebesar Rp10,1T. Selain itu pemerintah juga menyalurkan dana bantuan untuk penanggulangan bencana lainnya seperti bencana tsunami di Banten, Siklon Cempaka di DI Yogyakarta, erupsi Gunung Sinabung dll.
Sebenarnya pos belanja yang memiliki potensi kebocoran terbesar dalam belanja pemerintah pusat adalah pos belanja modal dan pos belanja barang. Dari 2 pos tersebut kita akan mendapatkan anggaran sebesar Rp521,9T, bukan kebocoran melainkan total realisasi kedua pos tersebut (belanja modal Rp184,9T dan belanja barang Rp333,7T). Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran yang digunakan, dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Aset Tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual. Sedangkan belanja barang adalah belanja untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja ini terdiri dari belanja barang dan jasa, operasional perkantoran, pemeliharaan dan perjalanan dinas. Kedua jenis belanja ini erat kaitannya dengan proses pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat, memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time guna mewujudkan clean and good government dalam pengadaan barang/jasa pemerintah maka pemerintah melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menyediakan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Dengan layanan tersebut meminimalkan potensi penyelewengan melalui proses pengadaan barang dan jasa. Belum lagi jika kembali melihat capaian kerja pemerintah yang telah saya sebutkan diawal.
Potensi Kebocoran
Pada tahun 2017, Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa berdasarkan hasil spending review yang dilakukan menunjukkan adanya potensi celah fiskal Rp 9,6 triliun pada tahun anggaran 2016 dan Rp 8,7 triliun pada tahun anggaran 2017. Potensi celah itu didominasi oleh belanja perjalanan dinas, khususnya paket meeting dan honorarium. Walaupun dalam 2 tahun tersebut terdapat tren penurunan dan jumlahnya yang tidak mencapai 10% dari pagu yang dianggarakan tetap saja hal ini menjadi perhatian Kementerian Keuangan. Spending review sendiri merupakan alat untuk evaluasi kinerja pemerintah dimana hasilnya dijadikan rekomendasi pelaksanaan anggaran pemerintah tahun berikutnya agar lebih efektif dan efisien.
Berbagai langkah perbaikan dari mulai perencanaan, pelaksanaan sampai dengan baseline belanja K/L terus dilakukan untuk menekan angka tersebut. Diantaranya dengan penguatan kualitas standar biaya masukan (SBM) dengan tetap memperhatikan efisiensi dibeberapa standar biaya yang bersifat konsumtif (seperti standar biaya untuk honor, tarif hotel, uang saku dll), penerapan sistem at cost, pembatasan jumlah pemberian honorarium, pembatasan perjalanan dinas, melibatkan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sejak awal penyusunan anggaran, pengalihan belanja konsumtif ke belanja produktif dsb. Hal-hal tersebut dimonitor dan dievaluasi secara terus-menerus sehingga dapat dterus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap sistem dan mekanisme yang ada sehingga diharapkan potensi celah fiskal dapat diminimalisir ke titik terendah dan menciptakan belanja yang efektif dan efisien guna mendukung APBN yang berkualitas demi menghasilkan nilai manfaat yang sebesar-besarnya (value of money).
Selain beberapa jenis belanja diatas yang termasuk dalam Belanja Pemerintah Pusat ada juga pos belanja bernama Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang telah saya sebutkan diawal. Yaitu belanja pemerintah pusat berupa pembagian dana APBN kepada pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang besarnya berdasarkan perhitungan-perhitungan berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan. Sedangkan Dana Desa adalah dana yang dialokasikan dalam APBN yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan, pembinaan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Dengan realisasi sebesar Rp757,8 T dana ini disalurkan hampir ke seluruh Pemerintah Daerah baik itu Provinsi, Kabupaten dan Kota yang berjumlah 542 serta Dana Desa yang disalurkan ke 74.953 desa. Transfer Ke Daerah yang reasliasinya mencapai Rp697,9 T penggunaannya sendiri antara lain untuk dana bantuan operasional sekolah, belanja PNS daerah, tunjangan profesi guru, administrasi kependudukan dan juga kegiatan khusus fisik yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Untuk dana desa yang realisasinya sebesar Rp59,9T lebih banyak digunakan secara swakelola oleh masing-masing desa dikarenakan selain tujuannya untuk pembangunan di desa juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Tanpa Data, Timbulkan Keraguan dan Keresahan
Setelah melihat paparan diatas maka kita dapat menilai seberapa besar kemungkinan dan sulitnya mencari 25% kebocoran itu terjadi. Karena secara makro maupun output kerja yang telah dicapai pemerintah tidak mendukung pernyataan tersebut. Apalagi selain dengan data capaian kinerja pemerintah tadi mekanisme pengawasan yang dilakukan berlapis baik oleh auditor interal maupun eksternal. Dimulai dari APIP masing-masing Kementerian/Lembaga, BPKP sampai dengan BPK RI. Setiap tahun pun pemerintah membuat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang diaudit oleh BPK RI untuk menunjukkan kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan sesuai dengan pengungkapan yang diatur dalam SAP, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.
Di luar itu pun bila selanjutnya ditemukan indikasi pelanggaran hukum atau tindak pidana korupsi maka ada prosedur hukum oleh lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan hingga KPK. Kredibilitas kita pun mendapat pengakuan dari lembaga-lembaga rating internasional seperti S&P, Moody’s dan Fitch dimana Indonesia mendapat peringkat investment grade dari lembaga-lembaga rating tersebut. Hal yang mustahil terjadi jika APBN kita dinilai tidak kredibel, akuntabel serta sustainable.
Akan naif bila saya mengatakan tidak terjadi kebocoran anggaran pada pelaksanaan APBN. Namun jika kemudian ditaksir terjadi 25% kebocoran anggaran tanpa berpijak pada data-data dan bukti-bukti yang empiris tentu hal ini kemudian menimbulkan keraguan serta keresahan tersendiri di masyarakat. Sebaliknya jika taksiran tersebut disampaikan dengan data-data yang mendukung maka hal tersebut merupakan bentuk check and balance yang baik sehingga dapat dilakukan evaluasi dan antisipasi sehingga kebocoran tersebut dapat dihindari. Hal tersebut akan menjadi masukan yang sangat baik bagi kami di Kementerian Keuangan, karena Menteri Keuangan selaku Chief Financial Officer (CFO) selalu melakukan kajian pada aspek-aspek teknis dalam pelaksanaan APBN dan mencoba mengidentifikasi alternatif celah-celah fiskal sebagai bentuk masukan terhadap perbaikan, perencanaan dan penganggaran serta kemungkinan kebijakan penghematan. Dan sesuai dengan salah satu nilai Kementerian Keuangan kesempurnaan dimana kami senantiasa dituntut untuk melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik.
Selain itu setelah kontestasi pemilihan presiden ini selesai dugaan kebocoran akan selalu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan selanjutnya terlepas siapa pun yang akan keluar menjadi pemenang apalagi bila benar mencapai 25%. Namun tentunya dengan catatan bahwa dugaan tersebut didukung dengan data-data yang kuat karena tanpa hal tersebut dugaan tersebut hanya akan berakhir dengan debat kusir di sosial media atau saling tuding para politisi di talkshow-talkshow televisi.
Penulis: Gilang Tanri Desnantia
Profesi: Pegawai Kementerian Keuangan