Jakarta, TopBusiness – Kasus hukum mantan Client Relationship Head PT Bank Permata Tbk (BNLI), Ardi Sedaka dan tujuh rekannya dinilai banyak menuai kejanggalan. Menurut Tim Kuasa Hukum Ardi Sedaka, Didit Wijayanto Wijaya, Ardi didakwa dalam perkara tindak pidana perbankan dengan dakwaan tunggal: Pasal 49 Ayat 2b juncto 55 KUHP ayat pasal 64 ayat 1 KUHP.
Namun begitu, kejanggaan dakwaan ini sudah tercium sejak awal. Antara lain, dari saksi Pelapor AKP Karta adalah penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) dengan membuat Laporan Model A, yang artinya laporan tersebut dibuat berdasarkan temuan dari anggota Polri sendiri.
Laporan Model A tersebut ternyata hanya berdasarkan gelar perkara dari Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum) yang menyidik perkara pembobolan Bank Permata oleh PT Megah Jaya Prima Lestari (MJPL) dengan plafon kredit senilai Rp1,6 triliun dan menyisahkan outstanding kredit sebesar kurang lebih Rp750 miliar, tetapi dalam laporan tidak tercantumkan siapa Terlapor, dan pasal yang dilaporkan adalah Pasal 49 Ayat 1 dan 2 UU Perbankan, serta Pasal 3,4 dan 5 UU Pencucian Uang. Selain itu juga, hal tersebut hanya berdasarkan asumsi atau indikasi terjadinya tindak pidana.
“Padahal Pasal 49 Ayat 1 (a/b/c) dan Ayat 2b merupakan delik formil atau hanya merupakan suatu perbuatan dari pejabat bank saja yang tidak ada dan tidak mungkin dilakukan pencucian uang, yang menunjukkan sudah sangat jelas laporan yang dibuat adalah dipaksakan, rekayasa, dan sangat tidak masuk akal,” kritik Didit kepada media, di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
Kejanggalan lain, kata dia, ternyata Ardi didakwa melakukan pelanggaran kebijakan atau aturan internal Bank Permata berupa ‘trade checking’ dan juga karena ‘tidak adanya Surat Permohonan Kredit’ yang diajukan oleh debitur.
Padahal ketentuan tersebut hanya merupakan aturan internal Bank Permata berdasarkan SK Direksi Bank Permata yang bisa kapanpun diganti secara internal, dan bukan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank, sesuai dengan unsur terakhir dari Pasal 49 Ayat 2b dimaksud. “Dan ketentuan mengenai “trade checking” tersebut tidak diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) atau Peraturan OJK (POJK) manapun,” tandasnya.
Menurut dia, sangat ironis, Bank Permata kebobolan dan pengurus MJPL sudah dipidana, namun ternyata ex-karyawan BNLI itu dianggap dengan sengaja tak melakukan langkah-langkah untuk memastikan ketaatan bank terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank. Padahal penerapan Pasal 49 Ayat 2b, adalah apabila bank melakukan pelanggaran ketentuan dari otoritas maka harus terlebih dahulu memperoleh teguran dan pembinaan terlebih dahulu, setidaknya 3 (tiga) kali peringatan.
“Dan apabila bank tidak mematuhinya, barulah OJK melakukan investigasi untuk menerapkan Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan, karena UU Perbankan diterapkan berdasarkan asas ultimum remedium, yaitu penerapan administratif sebelum penerapan pemidanaan, dan wajib meminta keterangan dari OJK sebagai pihak yang paling memahami regulasi (Das sollen) dan paling memahami penerapan (Das sein) suatu regulasi dalam delik tindak pidana perbankan,” papar dia.
Sebelumnya diberitakan, saat persidangan perkara tipibank (tindak pidana perbankan) ex pegawai Bank Permata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terakhir telah memasuki tahapan pemeriksaan saksi sebanyak 16 orang.
Dan ternyata, terungkap berbagai pelanggaran hukum acara pidana yang terjadi pada saat proses penyidikan dan cacat formil yang mendasar pada surat dakwaan. Sehingga, Ardi Sedaka, yang menjadi salah satu dari 8 orang terdakwa itu, dinilai sebagai korban kriminalisasi.
Foto: Istimewa