Bergelut setiap hari di kandang sapi, para pemuda Desa Astomulyo, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, punya jabatan layaknya para profesional. Eson, menjadi manajer pangan, Tono manajer operasional, Eko mengepalai divisi marketing sedangkan Untung menjabat sebagai konsultan. Sesuai spesialisasinya, mereka punya tanggung jawab pada keberlanjutan Kelompok Tani Limousin yang menjadi salah satu motor utama ekonomi desa. Kerja keras mereka sukses mengubah wajah Astomulyo yang semula banyak ditinggalkan para pemudanya yang urbanisasi ke kota-kota besar.
“Mereka tidak digaji, tapi bergotong royong sebagai sesama peternak sapi di kelompok tani.Mereka kini jadi contoh warga dan pemuda lain dengan membuktikan menjadi peternak itu menjanjikan juga bermartabat. Kami punya NPWP dan bayar pajak setiap panen 4 hingga 5 bulan sekali, juga jadi nasabah bank, bahkan sekarang dikejar bank yang ingin memberikan kredit,” ujar Sarjono, Ketua Kelompok Tani Limousin pada Webinar Membangun Sosial Ekonomi Masyarakat Melalui Program Kemitraan Perusahaan yang diselenggarakan Great Giant Foods (GGF), unit korporasi dari Gunung Sewu Group dalam bidang produk makanan dan pertanian, Rabu, 12 Agustus 2020.
Webinar dengan agenda utama membahas kerja GGF yang produknya dikenal publik di antaranya dengan aneka buah berstiker Sunpride, jus buah premium Re.juve serta daging sapi bermerek Bonanza Beef itu, menghadirkan aneka kisah upaya bertumbuh bersama masyarakat.
Berbarengan dengan beroperasinya Great Giant Livestock (GGL), salah satu dari sembilan unit bisnis GGF di Lampung Tengah pada 1992, kolaborasi itu dirintis. Kelompok Tani Brahman menjadi generasi pertama mitra GGL dan kemudian diteruskan pada 2009 oleh Sarjono bersama 15 peternak lainnya dalam naungan Kelompok Tani Limousin. Dimulai dengan 150 ekor sapi, kini populasinya mencapai 1.500 ekor.
GGL yang berfokus pada budidaya sapi impor Australia hingga menghasilkan daging berkualitas seragam yang dilabeli Bonanza serta memelopori peternakan sapi perah tropis dataran rendah bermerek Hometown Dairy di Terbanggi Besar, juga menebarkan berkah dari sapi di desa-desa penyangganya.
“Kami menjadi mitra binaan, dibantu dihubungkan hingga mendapat akses ke perbankan yang sangat membantu karena ini usaha padat modal. Kami juga diberi pelatihan kapasitas diri, manajemen, pemasaran dan tentunya teknik peternakan seperti pakan, obat dan didampingi tenaga ahli. Kami juga rutin mendapat pasokan limbah kulit nanas dari industri pengalengan nanas PT. Great Giant Pineapple yang juga milik GGF,” kata Sarjono.
Berpadu
ekonomi sirkular
Maka,
dari Terbanggi Besar, dari proses produksi kaleng-kaleng buah yang dipasarkan
hingga ke Amerika Serikat, Cina, Singapura pura, Kanada, Jepang, dan Korea
Selatan itu limbahnya ikut mendenyutkan ekonomi sirkular warga sekitar.
“Kami sebagai peternak penggemukkan sapi berstatus off taker, namun standar kami harus sesuai arahan GGL sehingga pasar kami terbuka lebar di Sumatra bagian atas dan Jabodetabek,” ujar Sarjono.
Pemanfaatan limbah nanas yang membuat kerja GGF dan unit-unit bisnisnya meminimalkan dampak pada lingkungan itu, kata Sarjono, berkontribusi pada kesuksesan kelompok taninya meraih target kenaikan berat badan sapi 0.8kg – 1kg per hari.
“Kami merasakan dengan semua tim GGL adalah keluarga, dengan Mas Prima dan Mba Agnes serta yang tim lain yang rutin datang. Bayangkan, kami yang dulu tidak kenal siapa pun, kemudian dan dibina agar mandiri supaya tidak tergantung dan punya posisi tawar. Ini membuktikan pagar mangkok lebih kuat daripada pagar tembok, menyebarkan berkah lebih baik bagi perusahaan dan masyarakat.”
Keberlanjutan,
bukan memanfaatkan
Ferdy,
Head of Finance GGL menyebut sosok Sarjono dan Kelompok Tani Limousin sebagai mitra
Corporate Share Value (CSV). Perusahaan
dan warga sekitar atau yang kerap diistilahkan desa peyangga bukan saling
memanfaatkan, namun menguatkan. Interaksi itu telah melampaui konsep pertanggungjawaban
sosial yang kerap disalahartikan sebagai kegiatan ala sinterklas. Kebersamaan
itu dipupuk GGF pada 53 desa di sekitar kebun miliknya yang luasnya 34 ribu hektare
tersebar di Lampung Tengah dan Lampung Timur serta mitra-mitra petaninya di
penjuru nusantara.
“Ini wujud komitmen pada UU 20/2008 tentang UMKM yang mengatur tentang kemitraan. Kami mewujudkannya dengan program yang berkelanjutan. Namun ini sama sekali tidak instan, sebuah proses panjang dan tidak akan berhenti kami kembangkan. Karenanya, ini butuh dukungan semua pihak untuk mendukung kami yang bergerak di hulu untuk menguatkan posisi Lampung sebagai lumbung ternak nasional,” ujar Ferdy .
Berbagai pola kemitraan
CSV yang dipadukan dengan ekonomi sirkular itu, kata Welly Soegiono, Corporate Affairs Director GGF, itu menjadi penanda komitmen pada lingkungan yaitu zero waste sekaligus kebersamaan dengan masyarakat. “GGF bermitra dengan petani, dengan berbagai pola, di Tanggamus, Jembrana, Blitar, Bener Meriah, Bondosowo, Banyuwangi, Garut, Tasikmalaya, Batu, Sukabumi, Cianjur, Sleman, Magelang, Jombang, Mojokerto serta kota-kota lainnya. Kami menjalankan CSV dari hulu ke hilir dengan berkontribusi pada masalah yang ada di masyarakat dan menciptakan sumber pertumbuhan yang mengalirkan dampak berganda, petani pun bertumbuh bersama kita. Di antara mereka ada yang sudah ekspor ke Malaysia, Singapura dan China dan memenuhi standar internasional,” kata Welly.
Gilang M Nugraha, Junior Manager Sustainability GGF juga merinci kolaborasi perusahaan yang mengekspor ke 65 negara itu, di antaranya berkategori contract farmers mencapapai 500 peternak sapi serta 450 petani buah.Pada sistem ini perushaaan melakukan supervisi, petani menyetor ke packing house milik kelompok tani yang kemudian diserahkan pada koperasi hingga akhirnya disetor ke GGF. “Supervisi kami lakukan melalui tim lapangan yang melatih petani terkait hama, penyakit tanaman dan teknis lainnya agar sesuai standar kami,” ujar Gilang.
Selain itu, kemitraan dilakukan pula program local sourcing dengan memberikan standar operasional, analisa usaha serta pengarahan agar hasil panennya sesuai ketentuan. Ada pula kerja sama dengan petani lepas yang jumlahnya lebih dari 500 orang untuk memenuhi kebutuhan buah pepaya, pisang, jeruk dan melon.
Teruji saat pandemi
Istimewanya, GGF melalui sistem local sourcing yang diterapkan PT Sewu Segar Nusantara, menerima hasil panen mitra petaninya dalam kondisi apa pun. “Kami menampung hasil panen dari grade tertinggi hingga yang terendah, sesuai segmen penjualan yang beragam dan harga yang disesuaikan. Ini kami lakukan untuk membantu petani yang sudah memanen hasil bumi mereka, supaya mereka tidak bingung memasarkan sambil terus kami bina,” kata Vera Monika,
Head of Local Sourcing PT Sewu Segar Nusantara. Maka, pihaknya terus berupaya memperluas pasar dengan masuk ke pasar tradisional hingga UKM pengolahan buah-buahan yang tak terlampau mengutamakan penampilan buah.
“Termasuk di masa pandemi ini, kami mendukung mitra kami memenuhi standar keselamatan yang penting bagi mereka maupun konsumen. Kami pun terus menampung hasil panen petani, sehingga hingga kini belum ada dampak signifikan pada para mitra. Memang ada perubahan pola permintaan pada buah tertentu di masa pandemi, namun kini sudah stabil lagi.” ujar Vera.