Penulis: Bramantyo Djohanputro, Pengamat FGRC – Finance, Governance, Risk, and Compliance
Jakarta, TopBusiness — Penerbitan Undang-undang yayasan nomor 16 tahun 2001, yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang nomor 28 tahun 2004 dianggap untuk mengisi kekosongan perundangan yang mengatur yayasan. Sebelum lahirnya kedua undang-undang tersebut, banyak orang tertarik mendirikan yayasan karena kemudahan dalam proses pendirian, bisa dimanfaatkan untuk mendapat keuntungan bagi pengurus, dan berbagai manfaat lain.
Selain itu, yayasan cenderung memberi tumpuan kepada direksi, yang sebelum lahirnya undang-undang yayasan merupakan hal yang wajar dijalankan, tetapi kemudian perlu dipikir ulang karena direksi, yang merupakan pelaksana Pengurus, tidak termasuk ke dalam organ yayasan.
Lahirnya undang-undang tentang yayasan tersebut memberi kepastian hukum, kejelasan bagi masyarakat mengenai apa dan bagaimana seluk-beluk yayasan, dan mengembalikan fungsi yayasan sebagaimana mestinya.
Tulisan ini dibatasi pada fungsi sebuah yayasan, yang kemudian dikerucutkan menjadi peran dari masing-masing organ yayasan yaitu, Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Pembagian peran antar organ yayasan merupakan penterjemahan dari tata kelola yayasan.
Tata kelola yayasan merupakan seperangkat aturan yayasan yang menetapkan hubungan antara Pembina, Pengurus, dan Pengawas sehingga ada kejelasan fungsi, tugas pokok, tanggung jawab, dan kewenangan masing-masing organ dalam rangka mengendalikan dan mengarahkan yayasan untuk menjalankan misi dan mencapai visinya.
Dalam menyusun tata kelola, yayasan dapat menetapkan prinsip-prinsip sesuai dengan karakteristik, budaya, misi, dan visi yayasan yang bersangkutan. Salah satu acuan prinsip disingkat TARIF, yang merupakan akronim dari transparent, accountable, responsible, independent, dan fairness. Atau, sebagai alternatif, prinsip yayasan bisa terdiri dari integritas, transparansi, akuntabel, responsibilitas, independensi, dan kewajaran.
Pembina merupakan organ tertinggi di dalam yayasan; memiliki kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus dan Pengawas. Pembina memiliki kewenangan yang luas, termasuk di dalamnya adalah perubahan anggaran dasar, pengangkatan dan pemberhentian baik anggota pengurus maupun anggota pengawas, penetapan kebijakan umum yayasan, pengesahan program kerja dan anggaran, dan penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan. Pembina sebagai board of trustee yang juga memegang peran governing body memiliki kewenangan-kewenangan tersebut, yang bisa dijalankan sendiri atau didelegasikan kepada pengurus atau pengawas. Tugas utama Pembina adalah untuk melindungi kepentingan yayasan.
Pengawas, yang merupakan supervisory body, memastikan perlindungan bagi para pemangku kepentingan secara seimbang dan terpenuhinya prinsip-prinsip tata kelola yayasan. Oleh karena itu Pengawas perlu memberi saran-saran kepada Pengurus dalam hal kebijakan dan hal umum yang dibuat Pengurus, dan memastikan laporan keuangan dibuat dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku.
Pengurus dan Pengawas memiliki peran dan melakukan pembagian peran tergantung pada sistem yang diterapkan oleh yayasan. Secara umum, ada dua sistem yang berlaku, yaitu sistem satu lapis, atau one-tier system, dan sistem dua lapis atau two-tier system. Sebagai pembandingan, perusahaan di Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Perseroan Terbatas, mengikuti sistem dua lapis. Yaitu adanya pemisahan antara direksi dengan dewan komisaris. Perusahaan-perusahaan yang menganut sistem Anglo-Saxon menerapkan sistem satu lapis, dengan menggabungkan direksi dan komisaris ke dalam satu organ, yaitu board of directors, yang di dalamnya terdapat executive directors dan non-executive directors.
Undang-undang yayasan di Indonesia cukup unik dalam hal posisi Pengurus. Menurut Pasal 32 Undang-undang Yayasan, susunan Pengurus sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang bendahara, dan seorang sekretaris. Di sisi lain, pasal 35 menyatakan beberapa hal yang antara lain bahwa Pengurus bertanggung jawab penuh atas kepengurusan untuk kepentingan dan tujuan yayasan, bahkan bertanggung jawab penuh secara pribadi. Dan undang-undang yayasan membuka kesempatan, bahkan mengamanatkan, pengurus untuk menjalankan pengelolaan yayasan.
Bagi yayasan yang sederhana, dengan aktivitas tunggal, atau berukuran kecil, Pengurus bisa terjun langsung menangani sendiri kegiatan-kegiatan yayasan, dengan dibantu karyawan. Tetapi semakin kompleks kegiatan yayasan, semakin banyak kegiatan dan kegiatan usaha, semakin perlu dukungan pihak di luar Pengurus untuk menjalankan usaha tersebut. Terlebih bagi yayasan yang mendirikan perseroan terbatas. Undang-undang melarang anggota Pengurus sebagai direksi atau komisaris PT di bawah yayasan tersebut. Maka diperlukanlah Pelaksana profesional untuk memegang jabatan direksi maupun komisaris di unit-unit usaha tersebut.
Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, kepengurusan yayasan lebih cocok dengan mengadopsi sistem satu lapis di dalam peran Pengurus. Gambar terlampir menunjukkan model pembagian peran organ yayasan dengan sistem satu lapis di dalam organ Pengurus. Dan model inilah yang menjadi poin utama tulisan ini sebagai alterntif model pengelolaan yayasan untuk diterapkan di Indonesi.
Sistem satu lapis terlihat pada pembagian peran dalam Pengurus yayasan. Pengurus dikelompokkan ke dalam dua tim, yaitu tim eksekutif dan tim non eksekutif. Tim eksekutif terdiri dari anggota Pengurus yang mendapat tugas untuk menjalankan roda yayasan, Tim ini bertanggung jawab dalam penyusunan arah strategis yayasan, yang mencakup kebijakan, review misi dan misi, penyusunan draft rencana strategis, penyusunan rencana kerja dan anggaran tahunan, sampai eksekusi dan monitoring- evaluasi pelaksanaan rencana.
Tim eksekutif dipimpin oleh seorang direktur eksekutif yang berperan untuk mengkoordinasi dan mensupervisi tim eksekutif. Pengambilan keputusan dilakukan dengan pendekatan kolektif kolegial. Dalam pola ini, penetapan kinerja kolegial mendapat bobot lebih besar dibandingkan dengan kinerja individu tiap direksi.
Direktur eksekutif membawahi beberapa direktur. Para direktur ini berperan dalam mengelola sumber daya yayasan, baik keuangan, infrastruktur termasuk IT dan fasilitas, sumber daya manusia atau HC, dan sumber daya lainnya. Selain itu, yayasan perlu mempertimbangkan adanya direktur GRC, atau governance, risk, dan compliance. Ada tidaknya direktur GRC tergantung pada ukuran yayasan. Yayasan yang relatif kecil tidak harus memiliki direktur GRC, tetapi peran tersebut tetap harus ada dan bisa diserahkan ke salah satu direktur, misalnya kepada direktur keuangan atau direktur SDM. Bila tidak ada direktur GRC maka perlu posisi setingkat di bawah direktur untuk mengelola GRC yayasan.
Dengan pengelolaan seluruh sumber daya yayasan di bawah langsung Pengurus, maka Pengurus memiliki otoritas yang kuat dalam mengendalikan arah yayasan dan sekaligus mengalokasikan sumber daya tersebut secara proporsional.
Karena peran tersebut, tim eksekutif musti terdiri dari orang-orang yang memiliki kapabilitas yang mencukupi di tiap direktorat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, proses rekrutmen, seleksi, termasuk asesmen, menjadi penting dalam penetapan tiap direktur tersebut. Dan sekalipun Pengurus bisa diangkat beberapa periode, tergantung Anggaran Dasar yayasan bersangkutan, tiap anggota tim eksekutif bisa saja ditetapkan selama menjabat dan bisa dibatasi, misalnya maksimum dua periode sebagai anggota tim eksekutif atau maksimum dua periode untuk posisi yang sama dalam tim eksekutif.
Tim non eksekutif terdiri dari anggota Pengurus dengan berbagai jabatan sejalan dengan undang-undang yayasan. Ada seorang ketua pengurus atau ketua umum pengurus, tergantung struktur tim non eksekutif. Bila jumlah tim non eksekutif tidak banyak, maka hanya butuh satu ketua, yang memimpin tim non eksekutif sekaligus memimpin organ Pengurus. Tetapi bila tim non eksekutif cukup banyak dan perlu diangkat beberapa ketua Pengurus, maka perlu ditunjuk seoarang ketua umum yang memimpin tim non eksekutif sekaligus memimpin organ Pengurus yayasan. Selain ketua, tim non eksekutif terdiri dari paling tidak seorang bendahara dan seorang sekretaris.
Peran utama dari tim non eksekutif Pengurus yayasan adalah memastikan bahwa pengelolaan yayasan sesuai dengan tata kelola yayasan dalam menjalankan misi dan mencapai visi yayasan. Tugas pokok tim non eksekutif adalah: me-review dan memberi masukan tata kelola yayasan, me-review dan memberi masukan aspek strategis dan rencana kerja dan anggaran yayasan sebelum dibawa ke Pengawas dan disahkan Pembina, melakukan review kinerja tim eksekutif untuk menjadi masukan bagi Pembina, membangun nilai-nilai yayasan, citra, jejaring dengan berbagai pemangku kepentingan, dan penggalangan dana non operasional seperti hibah dan dana abadi.
Dalam mejalankan kegiatan dan kegiatan usaha yayasan, Pengurus dapat mengangkat Pimpinan di tiap unit. Untuk melaksanakan kegiatan, Pengurus dapat mengangkat pimpinan pelaksana kegatan. Misalnya, bagi yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, Pengurus mengangkat direktur pelaksana sekolah, atau Ketua Sekolah Tinggi, atau Rektor Institut, atau Rektor Universitas. Untuk kegiatan usaha, karena undang-undang melarang Pembina, Pengurus, dan Pengawas menjadi pengurus atau direksi dan juga melarang mereka untuk menjadi pengawas atau komisaris di badan usaha yayasan maupun di badan usaha penyertaan, Pengurus dapat mengangkat Direktur Pelaksana di masing-masing kegiatan usaha, dan mereka tidak termasuk ke dalam organ Pengurus yayasan.
Untuk memastikan kelancaran arah strategis dan operasional badan usaha, koordinasi antara tim eksekutif Pengurus, yang menjalankan kegitan yayasan secara penuh waktu dan pimpinan badan usaha menjadi salah satu kunci keberhasilan yayasan dalam menjalankan misi dan mencapai visi. Oleh karena itu, secara operasional tim eksekutif dan para pelaksana harus berada dalam satu kapal yang harus dikelola bersama.
Mungkin sudah banyak yayasan di Indonesia yang telah menyesuaikan tata kelola dan pembagian peran organ yayasan, dan pelaksana bila Pengurus memerlukan. Mungkin juga masih banyak yang perlu menyesuaikan diri. Bagi yang dalam proses penyesuaian, masa transisi dari model pengelolaan saat ini ke dalam model pengelolaan yang baru perlu dijalankan dengan bijak dan cermat untuk menjamin keberhasilan transisi dengan baik dan sukses. (*)
FOTO: Istimewa
Very detailed indeed. Tkuuuu