Jakarta, TopBusiness – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, tidak akan memberlakukan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk perusahaan yang berorientasi pada ekspor.
Mulanya, Bahlil menjelaskan ketetapan tersebut diputuskan berdasarkan hasil rapat kabinet terbatas (ratas), di mana harga HGBT untuk listrik maksimal US$ 7/MMBTU. Sementara untuk bahan baku industri dipatok sebesar US$ 6,5/MMBTU.
“Tapi tidak berlaku untuk bahan baku hasil hilirisasi yang untuk ekspor. Tidak berlaku. Contoh, Pupuk Kaltim, dia mengelola pupuk tapi orientasinya ekspor. Itu kita tidak kasih HGBT,” kata Bahlil dalam konferensi persnya di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (3/2/2025).
Bahlil menekankan, kebijakan tersebut diterapkan lantaran HGBT memiliki potensi pendapatan negara yang seharusnya diterima, tetapi tidak dipungut untuk menjaga industri dalam negeri.
“Dari 2020 sampai dengan 2024, total potensi pendapatan negara dari hulu migas, khususnyabuntuk gas akibat kompensasi HGBT itu sebesar Rp 87 triliun,” terangnya.
Bahlil menegaskan, HGBT bukan berarti negara tidak memberikan insentif kepada industri lantaran ada potensi pendapatan negara yang tidak dipungut. Hal itu diharapkan dapat mendorong perusahaan mengembangkan produk hilirisasinya.
“Itu ada potensi negara yang tidak dipungut untuk memberikan sweetener kepada perusahaan agar dia membangun industri hilirisasinya,” tutupnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data capaian kinerja ESDM tahun 2024, pemanfaatan gas bumi domestik dibagi berdasarkan kebutuhan. Dalam hal ini, kebutuhan industri mendominasi dengan total 1.473 MMBTU atau sekitar 40% dari total pemanfaatan gas bumi tahun 2024.
Adapun rinciannya, yakni kebutuhan pupuk sebesar 690 MMBTU setara 19%, kelistrikan sebesar 707 MMBTU setara 19%, domestik LNG sebesar 695 MMBTU setara 19%, domestik LPG sebesar 77 MMBTU atau sekitar 2%, cita gas 15,48 MMBTU atau 1%, dan BBG sebesar 3,95 MMBTU.