
Jakarta — Regulasi yang mengatur pengelolaan fasilitas umum (fasum) ataupun fasilitas sosial (fasos) di kompleks town house (rumah bandar) di Indonesia bisa dikatakan saat ini masih kosong. Itu berbeda dengan regulasi untuk fasum dan fasos di kompleks apartemen. Maka, warga kompleks town house sering mendapatkan ketidakjelasan atas otoritas pengelolaan fasum dan fasos itu. Demikian dikatakan oleh seorang eksekutif pemasaran properti, di Jakarta.
Ia mengatakan belum lama ini bahwa, sering kali, ketidakjelasan itu membuat peruntukan lahan fasum dan fasos ditentukan oleh pengurus RT (rukun tetangga) ataupun RW (rukun warga). Semisal, pengurus RT ataupun RW bisa masuk ke kompleks town house dan menentukan bahwa fasum tertentu harus dibangun.
Semua itu berbeda dengan di kompleks apartemen. Sebab, untuk kompleks apartemen, telah ada perangkat regulasi yang mengharuskan pembentukan perhimpunan penghuni rumah susun. Lantas, perhimpunan penghuni tersebutlah yang mendapat otoritas untuk mengelola pengelolaan fasum dan fasos di kompleks apartemen. “Itu terlepas dari fakta bahwa mayoritas perhimpunan penghuni rumah susun didominasi pengembang,” kata eksekutif tersebut.
Kekosongan regulasi itu pun, ia menambahkan, menimbulkan satu peluang bisnis. Sejumlah perusahaan konsultan lalu menawarkan jasa pengelolaan fasum dan fasos kepada warga kompleks town house. Itu tentu dengan memungut fee manajemen.
Dalam hal itu, manakala ada pihak luar yang ingin ikut campur terkait fasum dan fasos, yang mewakili warga adalah pihak konsultan tersebut. “Hal itu menguntungkan warga. Sebab, warga kan tidak punya badan hukum untuk negosiasi dengan pihak luar yang ingin menentukan fasum dan fasos,” ucap eksekutif itu. (DHIT)