Perlu ada langkah terobosan dari menteri pertanian baru untuk mencapai swasembada pangan. Pemerintah juga perlu menuntaskan masalah data pangan yang berbeda-beda antara kementerian dan lembaga.
Pasca dilantiknya Syahrul Yasin Limpo sebagai menteri pertanian (mentan) pada 23 Oktober 2019 lalu, sejumlah kalangan menaruh harapan besar kepada mantan orang nomor satu di Sulawesi Selatan itu untuk membenahi masalah pangan di Tanah Air. Harus diakui, Indonesia saat ini masih mengimpor sejumlah komoditas pangan antara lain kedelai, jagung, daging, hingga bawang putih.
Itu pula yang menjadi sorotan utama terhadap kinerja Kementerian Pertanian karena tidak berhasil mewujudkan swasembada pangan pada periode I pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pengamat pertanian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah menyatakan, pada periode I pemerintahannya, Presiden Jokowi juga sudah menugaskan menteri pertanian (mentan) untuk mewujudkan target swasembada pangan dan menyetop impor bahan pangan pokok. “Tapi swasembada pangan itu tidak terjadi,” kata Rusli di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Rusli, Indonesia masing mengimpor daging dari India. “Lalu bawang putih katanya mau swasembada tahun 2021. Tapi nyatanya hingga 2019 impor kita masih 80% dari kebutuhan dalam negeri. Kalau 2019 masih impor, saya kira untuk swasembada di tahun 2021 itu sulit. Intinya, janji setop impor pangan tidak terpenuhi,” papar dia
Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi meminta mentan baru untuk mewujudkan swasembada bawang putih pada 2021. Saat ini, kebutuhan bawang putih nasional mencapai 600.000 ton per tahun. Sekitar 90% kebutuhan bawang putih dalam negeri berasal dari impor yang diserahkan kepada importir swasta.
“Salah satu caranya bisa dengan kebijakan wajib tanam bawang putih untuk mendapatkan rekomendasi impor. Langkah tersebut diharapkan mampu mengerem impor pangan yang selama ini meresahkan,” kata Anton.
Selain bawah putih, Indonesia saat ini juga masih belum bisa lepas dari ketergantungan kedelai impor. Permintaan kedelai impor tahun 2019 ini bahkan diprediksi meningkat dibandingkan dengan tahun lalu.
Ketua Umum Soy Food and Beverage Network (SoyBean) Indonesia Ahmad Sulaeman memperkirakan, impor kedelai berpeluang mencapai 2,7 juta ton pada tahun ini, atau naik dari realisasi 2018 sebesar 2,5 juta ton. “Ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk Indonesia dan pesatnya pertumbuhan industri pengolahan kedelai selain tahu dan tempe impor komoditas tersebut akan mengalami kenaikan,” ujar Ahmad.
Untuk komoditas jagung, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) volume impornya masih relatif besar. Impor Jagung sepanjang Januari-Juni 2019 mencapai 0,580 juta ton, dengan nilai US$ 123 juta. Capaian paruh 2019 sudah mendekati realisasi impor jagung pada tahun sebelumnya yang mencapai 0,74 juta ton senilai US$ 159 juta. Bahkan realisasi impor jagung paruh tahun ini sudah sedikit melampaui realisasi impor jagung 2017 yang tercatat 0,52 juta ton, senilai US$ 114 juta ton.
Sebagai informasi, Kementan sudah memiliki roadmap bahwa pada tahun 2045 Indonesia bisa menjadi negara lumbung pangan dunia. Rencana ini sudah disusun, dengan program swasembada delapan komoditas pangan utama, yang meliputi beras, bawang merah, cabai, jagung, kedelai, gula, daging sapi, dan bawang putih.
Benahi Data Pangan
Pekerjaan rumah lain yang cukup mendesak dari Mentan Syahrul Yasin Limpo adalah membenahi masalah data pangan yang terjadi sejak era menteri-menteri pertanian sebelumnya.
Menurut Rusli, masalah itu bisa diselesaikan dengan cara berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Badan Urusan Logistik (BULOG). “Data pangan yang valid dan jelas akan menciptakan kebijakan di sektor pangan yang tidak gaduh dan sinkron dengan kerja Kementerian/Lembaga lain,” kata Rusli.
Rusli berpendapat bahwa koordinasi tersebut dinilai sangat penting agar polemik terkait dengan impor beras yang pernah terjadi pada 2018 tidak terulang kembali. Akibat data yang tidak valid, Bulog harus menanggung fakta bahwa kebanyakaan gudang mereka sebagian besar didominasi oleh beras impor.
Berdasarkan laporan resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan bahwa pada 2018 Indonesia sebenarnya justru sedang mengalami surplus beras 2,85 juta ton. Perhitungan itu mungkin diperoleh BPS dengan memggunakan metode estimasi luas baku tanaman padi dengan Kerangka Sampling Area (KSA).
“Pemerintah sebenarnya bisa menarik data pangan dalam satu pintu. Apabila ingin mengestimasi ulang, maka diperlukan komoditas beras yang butuh waktu lebih dari satu tahun, pemerintah juga bisa membentuk kelompok kerja (Pokja) untuk membenahi data pangan utama seperti jagung, kedelai, hingga tanaman hortikultura” kata Rusli.
Menurut Rusli, kelompok kerja (pokja) tersebut kemudian diberikan tugas untuk membenahi data pangan seperti apa yang telah dilakukan ke komoditas padi atau beras.
Selain soal data pangan, ada beberapa tantangan lain yang harus dihadapi Syahrul Yasin Limpo di antaranya terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di bidang pertanian, potensi perubahan iklim, konsolidasi antar kementerian terkait, pergeseran permintaan pangan dari karbohidrat ke protein, konsolidasi lahan, serta pergeseran musim tanam hingga musim panen sejumlah komoditas pangan.
Mengatasi masalah swasembada pangan dan kisruh data pangan, Mentan Syahrul Yasin Limpo usai pelantikan menegaskan akan mendorong terciptanya kemandirian pangan di Indonesia dan tak mengimpor bahan pangan jika tidak diperlukan. Salah satu caranya, adalah dengan menyeragamkan data produksi pertanian dalam 100 hari pertama masa jabatannya. “Tidak boleh ada dua, tiga data. Kami harus punya data yang persis, valid, data yang disepakati bersama,” kata Syahrul.