Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu perhatian pemerintah sejak Indonesia merdeka. Di era Presiden Soekarno, pemerintah melakukan pembangunan antara lain bandar udara Juanda di Sidoarjo untuk penerbangan domestik dan internasional, bendungan Jatiluhur, dan Radio Republik Indonesia sebagai salah satu jaringan telekomunikasi. Tahun 1978 Presiden Soeharto meresmikan jalan tol pertama Indonesia sepanjang 52 kilometer yaitu jalan tol Jagorawi, yang menghubungkan Jakarta-Bogor-Ciawi. Saat ini Indonesia memiliki jalan tol sepanjang 1500 kilometer, pembangunan ini di luar pembangunan infrastruktur dari Dana Desa seperti 8.900 pasar desa, 58.000 unit irigasi, dan jalan-jalan kecil desa yang telah terbangun 191.000 kilometer.
Penulis: Wilma Engelina (Pegawai Kementerian Keuangan)*
Sejak awal era Presiden Joko Widodo tahun 2015, pemerintah serius menggenjot pembangunan infrastruktur mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara lain di sisi pembangunan infrastruktur. Keseriusan ini kemudian dilanjutkan menjadi prioritas presiden yang kedua setelah pembangunan Sumber Daya Manusia untuk lima tahun ke depan. Hal ini disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato presiden RI pada saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih. Bukan tanpa alasan Presiden Joko Widodo menaruh perhatian kepada pembangunan infrastruktur, setidaknya alasan berikut ini pernah disampaikannya ke publik setelah ia kembali terpilih, yakni: 1) dengan melakukan pembangunan infrastruktur dapat tercipta lapangan kerja dan menciptakan titik-titik pertumbuhan ekonomi baru; 2) dapat memperbaiki jaringan logistik untuk mengatasi tantangan konektivitas nusantara yang terdiri dari ribuan pulau; 3) penyediaan fasilitas infrastruktur merupakan bagian dari pelayanan publik yang menjadi kewajiban pemerintah kepada masyarakatnya; 4) pembangunan infrastruktur juga berarti melahirkan peradaban; dan 5) pembangunan infrastruktur berarti mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan sila kelima Pancasila. Pembangunan infrastruktur ini juga diharapkan dapat mendukung Indonesia untuk mewujudkan cita-cita Indonesia di tahun 2045 nanti, dimana Indonesia telah keluar dari jebakan pendapatan kelas mengengah, Produk Domestik Bruto telah mencapai 7 triliun dollar AS dan Indonesia sudah masuk lima besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen.
Gencarnya pembangunan infrastruktur memaksa pemerintah untuk memikirkan pendanaannya yang sudah pasti tidak sedikit. Hal ini terlihat dari kebutuhan dana pembangunan infrastruktur untuk tahun 2020-2024 yang mencapai Rp6.400 triliun, sementara untuk tahun 2020 sendiri pemerintah membutuhkan dana sebesar sekitar Rp423 triliun. Untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut, pemerintah dituntut kreatif dalam mengeluarkan produk pembiayaan agar dapat menutup defisit anggaran dalam APBN. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur tidak boleh murni hanya mengandalkan APBN ataupun pembiayaan dari utang. Saat ini pemerintah mengeluarkan skema pembiayaan yang dapat melibatkan pemerintah dan swasta yaitu melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), dan masyarakat dapat terlibat langsung melalui produk pembiayaan yang disebut dengan Sukuk Negara.
Skema KPBU diharapkan dapat mendukung serta memperkuat pembangunan infrastruktur dengan menjembatani keunggulan pihak swasta dan pemerintah. Melalui skema KPBU, pemerintah memberikan dukungan dan fasilitas berupa Fasilitas Penyiapan Proyek (Project Development Facility/PDF), fasilitas Dukungan Kelayakan (Viability Gap Fund/VGF), fasilitas Penjaminan Infrastruktur, dan Pembayaran Berdasarkan Availibility Payment atau AP. Sayangnya, belum begitu banyak pihak swasta yang ikut berpartisipasi. Penyebabnya antara lain belum pahamnya pihak swasta akan skema KPBU ini sehingga merasa belum aman bagi perusahaan untuk ikut terlibat, atau merasa bahwa dampak bagi perusahaan belum menguntungkan. Ditilik dari sisi Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK), yakni Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/ BUMN/ BUMD, kurangnya pemahaman dan kompetensi menjadi kendala utama selain permasalahan politik di daerah yang juga berpotensi besar menghambat pembangunan infrastruktur. Selain itu kurangnya ketersediaannya anggaran untuk biaya konsultan juga kerap mengurungkan minat pemda untuk menggunakan skema KPBU, padahal fasilitas dalam skema KPBU dapat menanggulangi kendala ini.
Pembiayaan infrastruktur lainnya adalah berupa Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau yang dikenal dengan Sukuk Negara. Produk ini diterbitkan berdasarkan prinsip-prinsip Syariah dan memberikan kesempatan kepada WNI secara individu untuk ikut berkontribusi langsung membangun negeri. Instrumen Sukuk Negara yang dapat diperoleh masyarakat secara individu atara lain Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan. Menariknya, imbalan dan pokok imbalan dalam kedua instrumen ini dijamin oleh negara, sehingga investor tidak perlu kuatir terjadi gagal bayar. Selain itu, tingkat imbalannya kompetitif lebih tinggi dari rata-rata tingkat bunga deposito Bank BUMN, imbalannya pun dibayarkan ke rekening investor setiap bulannya. Namun demikian, tidak setiap tahun investor bertambah, sebabnya jumlah investor dapat dipengaruhi dengan besarnya bunga imbalan yang diberikan. Artinya tidak selalu setiap tahun ada pertambahan jumlah investor, bergantung dari bunga imbalan yang ditawarkan oleh pemerintah sendiri. Semakin tinggi bunga atau yang ditawarkan, akan semakin banyak pula peminatnya.
Berbagai wacana untuk membuat skema KPBU menarik bagi swasta telah berkembang belakangan ini, diantaranya Small Scale PPP dan Unsolicited Project KPBU, pemberian insentif baik itu untuk pengadaan lahan, studi kelayakan, pembebasan pajak untuk proyek yang seluruhnya didanai swasta, dst. Hal penting yang perlu diperhatikan pemerintah pusat selaku pembuat kebijakan adalah memastikan kesiapan APBN untuk menopang pemberian dana insentif maupun pembebasan pajak tersebut.
Saat ini produk pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah dalam pengembangan skema KPBU dirasa sudah cukup mampu menjawab kendala yang muncul sebelumnya. Namun demikian, setiap produk yang diluncurkan sudah tentu memiliki kekurangan dan kelebihannya. Kekurangan dari produk yang existing inilah yang perlu diperbaiki atau disempurnakan lagi oleh pemerintah sebagai pembuat policy. Jika produk sudah menjawab permasalahan yang ada, maka diperlukan sosialisasi yang menyeluruh bagi Pemerintah yang akan menjadi PJPK, swasta, dan masyarakat. Hal ini agar badan usaha swasta maupun masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Sudah saatnya pemerintah pusat berhenti berdiam diri menunggu inisiatif yang datang dari PJPK untuk mengajukan pembiayaan KPBU. Sekarang saatnya pemerintah menjemput bola dengan melakukan pendekatan kepada pemerintah selaku PJPK maupun swasta berupa dialog, sosialisasi, FGD yang dapat menjadi forum komprehensif yang membahas solusi atau win win solution dari tantangan yang datang demi kesejahteraan rakyat.
Hal yang sama berlaku juga pada pembiayaan Sukuk Negara, pemerintah harus kreatif untuk menarik minat masyarakat agar berinvestasi ke produk Sukuk Negara. Berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia tahun 2015-2045 yang dikeluarkan oleh Bappenas, Indonesia memiliki penduduk usia kerja mewakili 68 persen dari populasi pada tahun 2015 dan terus meningkat sampai tahun 2045. Kondisi ini seharusnya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menjangkau masyarakat produktif. Pada tahun 2019, produk Sukuk Ritel didominasi oleh generasi Baby Boomers dan generasi X, sementara untuk produk Sukuk Tabungan didominasi oleh generasi Millenial, sedangkan total investor Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan masing-masing sekitar 35.000 sampai dengan 36.000 investor. Angka tersebut belum mencapai 50 persen dari total penduduk usia kerja di Indonesia tahun 2019, dan angka ini menunjukan masih banyak potensi yang belum dimanfaatkan. Pemerintah perlu berinovasi untuk menciptakan produk yang lebih mudah dijangkau, dimengerti, dan dilakukan oleh masyarakat.
Di luar usaha pemerintah pusat, diperlukan inisiatif dari pemimpin daerah maupun pemerintah daerah atau pihak yang menjadi PJPK, badan usaha swasta, BUMN/BUMD, dan masyarakat. Peran pemerintah daerah atau kepala daerah untuk membangun kepercayaan terhadap pemerintah juga penting, baik bagi pihak swasta maupun masyarakat sebagai investor. Selain itu, perlu disadari bahwa komitmen PJPK sangat menentukan jalannya suatu proyek KPBU sampai dengan selesai. Di sisi investor atau badan usaha swasta dan masyarakat, perlu adanya kesadaran untuk ikut bekerjasama memahami pentingnya pembiayaan, sehingga yang muncul ke permukaan bukan sisi negatif dari pembiayaan, melainkan turut berpartisipasi membangun negeri.
*tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan organisasi