Jakarta, TopBusiness – Ekonom senior sekaligus founder CORE Indonesia (Center of Reform on Economics), Hendri Saparini ikut merespon lambatnya proses pemulihan ekonomi yang saat ini terjadi di tengah pandemi Covid-19. Apalagi kemudian, kondisi itu justru diwacanakan oleh pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Reformasi Keuangan. Jika itu terjadi, maka itu adalah Perppu kedua yang diterbitkan pemerintah di era pandemi ini.
Nantinya, salah satu tujuan utama Perpu itu adalah agar Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih responsif dalam mendukung proses pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah. Namun begitu, di mata Hendri, argumen tersebut dinilai tidak tepat. “Karena proses pemulihan ekonomi yang lambat bukanlah sepenuhnya kesalahan otoritas keuangan,” kata dia, di Jakarta, Kamis (3/9/2020).
Sebaliknya, sepanjang pandemi Covid-19 otoritas keuangan telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi akibat Covid-19 ini. BI, misalnya telah Untuk mendukung stabilitas suku bunga, BI juga menurunkan Policy Rate BI Seven Day Repo Rate (BI7DRR) sebesar 0,75% menjadi 4%. Sekarang GWM menjadi 2% untuk bank konvensional dan 0,5% untuk bank syariah. Dalam rangka menjadi likuiditas Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) naik menjadi 6% bagi bank konvensional dan 4,5% bagi bank syariah.
“BI juga telah membuka pintu untuk berbagi beban (burden sharing) dengan pemerintah dalam menanggung ongkos pembiayaan pemulihan ekonomi,” tandasnya.
Sementara untuk OJK, juga menjalankan perannya dalam mengawasi sistem keuangan di tengah pandemi. Pada kasus penyelamatan PT Bank Bukopin Tbk, misalnya. Ketika Bank Bukopin mengalami masalah kesulitan likuiditas, OJK memberikan kesempatan yang sama bagi dua pemegang saham utama terbesar yaitu Bosowa dan Kookmin Bank dalam menyuntikan setoran modal baru.
“Pada akhirnya, suntikan modal baru dari Kookmin menunjukkan permasalahan bank Bukopin bisa terselesaikan dan menambah prospek positif Bank Bukopin. Jadi, apa yang dilakukan OJK sebagai upaya preventif terjadinya risiko yang lebih besar dalam sistem perbankan nasional,” tandas dia.
Menurut dia, tanpa adanya Perppu pun, pengawasan sistem keuangan sudah dijalankan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan Undang-Undang No 9 tahun 2016 yang mengatur tata cara penyelamatan sistem keuangan. Sementara pemindahan wewenang pengawasan perbankan kembali ke BI juga belum didasari pada alasan yang kuat.
“Jika memang alasannya mendorong proses pemulihan ekonomi, maka alasan ini tidak tepat mengingat OJK telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi. Melalui Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2002 OJK memberikan stimulus bagi perbankan di tengah pandemi seperti sekarang,” tegas dia.
Untuk itu, kata dia, dengan belum jelasnya latar belakang pembentukan Perppu reformasi sistem keuangan, pemerintah, DPR, dan pihak terkait perlu menahan diri untuk tidak terburu-buru meloloskan Perppu ini.
Di sisi lain, alih-alih menyalahkan otoritas tertentu, evaluasi komprehensif perlu dilakukan pemerintah dalam mendorong proses pemulihan ekonomi nasional. Perlu diingat selain sektor keuangan, tanggung jawab pemulihan ekonomi juga berada pada pundak pemerintah dalam bentuk anggaran belanja pemerintah dan juga anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Dan yang tidak kalah penting, kata Hendri, pemerintah harus tetap fokus untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19. Sebab, perkembangan kasus baru akan mempengaruhi kepercayaan konsumen, khususnya kelas menengah atas yang menjadi penyumbang terbesar konsumsi rumah tangga.
“Peningkatan dan penyebaran kasus baru juga akan menghentikan tren optimisme pelaku usaha yang mulai muncul. Langkah lain, program bansos yang cukup besar perlu dipercepat realisasinya untuk menjaga kebutuhan kelompok bawah,” pungkas dia.
Foto: Istimewa
