Jakarta, TopBusiness – Pemerintah berencana menggenjot penerimaan pajak dengan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Rencana tersebut masih dibahas dengan DPR dan direncanakan akan diterapkan pada 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR seperti dikutip Rabu (30/6/2021) mengatakan, ada beberapa alasan tarif PPN perlu dinaikkan, salahs atunya karena tarif PPN di Indonesia lebih rendah daripada rata-rata tarif yang dikenakan oleh negara lain. Saat ini tarif PPN di Indonesia sebesar 10 persen, sedangkan rata-rata dunia sebesar 15,4 persen.
“Rendahnya tarif PPN membuat collective atau compliance efficiency sebesar 63,58 persen. Ini artinya Indonesia hanya bisa mengumpulkan 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Karena terlalu banyak pengecualian PPN atas barang dan jasa. Ada empat kelompok barang dan 17 kelompok jasa yang dikecualikan dari PPN,” tutur Menkeu.
Kkinerja PPN Indonesia, kata Menkeu, masih berada di bawah Thailand dan Singapura yang masing-masing sebesar 113,83 persen dan 92,69 persen. Jika dibandingkan dengan Afrika Selatan dan Argentina yang masing-masing 70,24 persen dan 83,71 persen.
Namun dibandingkan rata-rata Meksiko dan Turki, Indonesia masih lebih baik. Adapun kinerja PPN kedua negara tersebut sebesar 37,88 persen dan 46,96 persen, juga dengan Malaysia dan Filipina yang masing-masing sebesar 48,56 persen dan 23,20 persen.
Tarif PPN Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand yakni masing-masing sebesar tujuh persen, enam persen, 12 persen dan tujuh persen. Sedangkan Turki, Argentina, Afrika Selatan, dan Meksiko rata-rata sebesar 18 persen.
Adapun tren kenaikan PPN telah dilakukan oleh Arab Saudi dari lima persen menjadi 15 persen; Belgia dari enam persen menjadi 12 persen; Lithuania dari sembilan persen menjadi 21 persen; Yunani dari 13 persen menjadi 24 persen, dan Norwegia dari enam persen menjadi 12 persen. Kemudian Turki dari delapan persen menjadi 18 persen; Republik Ceska dari 10 persen menjadi 15 persen, Bulgaria dari sembilan persen menjadi 20 persen, dan Moldova dari 12 persen menjadi 20 persen.
Ada juga negara-negara yang menerapkan PPN multitarif atau berlapi seperti Argentina, Austria, Bangladesh, Belgium, Chile, Colombia, Jerman, India, Monako, Belanda, Selandia Baru, Paraguay, Filipina, Tiongkok, Swiss, Uruguay, dan Venezuela. “Sementara Indonesia menerapkan tarif tunggal dan ini kurang mencerminkan keadilan,” ucap Menkeu.
Selain itu, menurutnya, terlalu banyak fasilitas PPN yang dibebaskan dan tidak dipungut. Hal ini menyebabkan distorsi dan terjadinya ketimpangan sektor usaha pada produk domestik bruto (PDB) dan PPN dalam negeri. “Terjadi ketimpangan antar sektor dan juga ketidakadilan antar pelaku ekonomi yang tidak mendapatkan fasilitas,” ucapnya.
Menkeu mencontohkan ketimpangan kontribusi sektor usaha pada PDB dan PPN dalam negeri terlihat pada sektor pertanian, jasa keuangan, jasa pendidikan dan jasa kesehatan. Tercatat jasa pertanian memiliki share atau sumbangan terhadap PDB sebesar 14,2 persen pada 2020 namun sumbangan pada PPN hanya 1,9 persen, sektor jasa keuangan memiliki sumbangan 4,7 persen dalam PDB, namun sumbangan pada PPN hanya 1,3 persen. “Sektor jasa keuangan lebih banyak terefleksikan Pajak Penghasilan (PPh),” ucapnya.
Kemudian sektor jasa pendidikan sumbangan terhadap PDB 3,7 persen, namun share terhadap PPN hanya 0,1 persen. Demikian juga jasa kesehatan yang menyumbang PDB 1,4 persen, ke PDB hanya 0,2 persen.