Jakarta, TopBusiness – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) terus memberikan perhatiannya kepada para pelaku sector UMKM ini. Salah satunya agar mereka bisa konsisten bersaing di pasar global yakni agar konsisten bias melakukan ekspor produknya.
Hal ini seperti disampaikan oleh Asdep Kemitraan dan Perluasan Pasar KemenKop UKM, Fixy dalam webinar lembaga Kajian Nawacita LKN yang bertajuk ‘Standar Sustainable Nusantara Menuju UKM Pariwisata Maju dan Mandiri’, Kamis (19/5/2022).
Dalam pengmatan Kemenkop UKM, kata dia, selama ini total pelaku UMKM sebanyak 64 juta, namuan sayangnya masih banyak berskala mikro. Jika dilihat strukturnya seperti piramida, yang paling banyak atau yang di bawah itu UMKM berskala mikro, dan yang berskala besar hanya sedikit.
“Kalau kita bicara, siapa yang disebut pelaku usaha kecil itu, maka itu jawabannya adalah mereka yang perputara penjualannya itu dalam setahun bisa berada Rp2 miliar. Dan itu berapa banyak? Kalau mau jujur itu sangat sedikit. Maka pelakunya sebagian besar dari 64 juta itu adalah yang mikro,” dia menjelaskan.
Kondisi ini pun terjadi terhadap para pelaku UMKM di sector pariwisata di mana mereka yang berlevel mikro ini cukup banyak di sector ini. Terutama pelaku UMKM di sector kuliner. “Karena kalau kita bicara destinasi wisata itu pelaku kuliner salah satunya. Itu tidak terpisahkan. Makanya kalau wisata di daerah itu salah satu wisata kulinernya itu justru yang terpenting. Dan itu pasti para UMKM.”
Namun sayangnya, jika dikaji, justru terkait standarnya masih kurang bagus. Hal ini pula, kata Fixy, yang menjadi kendala dari UMKM domestic tidak bisa bersaing dengan negara tetatanga. Padahal kalau bicara data, justru sebagian besar dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 50% itu kontribusinya dari UMKM.
“Nah, kenapa kontribusi UMKM sebesar ini? Karena tidak bersaing di tingkat global. Karena kalau kita bandingin dengan ekspornya, itu jauh,” katanya.
Dan salah satu penghambat sector UMKM ini tak bisa bersaing, salah satunya itu masalah perluasan pasar. Dan kenapa pasar tak bisa bersaing? Lagi-lagi, kata dia, UMKM dalam negeri sangat lemah terkait standar dan kualitas.
“Produk Indonesia itu kalau bicara kuliner, contohnya di daerah A, di sana itu terkenal oleh-oleh yang bagus. Tapi masalahnya, kalau itu produk rumahan apakah rasanya itu akan sama kalau kita datang tiga bulan lagi dengan datang saat pertama itu? Itu kendala pertama. Ternyata mereka tidak punya standar yang jelas dan standar produknya itu tidak ada,” cerita dia.
Padahal, jika produk UMKM itu berstandar, maka upaya UMKM tersebut untuk naik kelas itu akan terbantu dan cepat bisa terlaksana. “Akan lebih cepat untuk naik kelas ke depannya kalau ada standarisasi produk,” terangnya.
Jaga Ekspor
Sektor UMKM sendiri terus didorong untuk bisa melakukan ekspor ke banyak negara untuk terus berkontribusi ke perekonomian nasional. Sejauh ini, kata dia, ekspor UMKM masih di bawah 15%. Dan disebutkan Fixy, masalah yang kerap terjadi terkait terhambatnya ekspor itu karena kurang bias menjaga standarisasi produk.
“Kalau kita lihat ekspor kita (UMKM) baru di bawah 15%. Saya cerita, produk kita biasanya berlomba-lomba mau ekspor itu orang pecah telur. Begitu ekspor pertama senang mereka, wah kita bisa erkspor. Namun ternyata kalau di-follow up, setelah ekspor perdana tadi apa yang terjadi? Berapa kali dilakukan dan yang diperoleh pelaku usaha yang bersangkuta? Sebab biasanya sekali jalan (ekspor) dan yang se;anjutnya itu agak seret dan yang ketiga biasanya sudah berhenti,” dia bercerita.
Untuk itu, dia menyarankan, para pelaku UMKM itu jangan hanya melihat dari sisi dirinya sendiri, namun harus juga melihat dari sisi konsumen atau buyer. “Sebab dari follow up kita itu komplainnya adalah kualitas atau standarnya. Begitu ekspor pertama datang kualitas bagus, standarnya seperti yang diminta dan diinginkan oleh pelanggan. Begitu ekspor kedua kualitasnya menurun dan seterusnya. Itu salah satu UMKM kita agak sulit maju dan berkembang,” tegasnya.
Kondisi seperti itu pun sejatinya sudah dirasakan oleh pelanggan di dalam negeri sendiri. Biasanya para pelaku UMKM itu makin lama akan mengurangi standar produk yang dijualnya. Termasuk juga hal ini kerap terjadi di daerah-daerah wisata. Bahkan daerah wisata yang masuk prioritas dan destinasi wisata andalan Indonesia.
Untuk itu, dia berharap, pasca pandemic Covid-19 ini, harus ada perbaikan pengelolan destinasi wisata termasuk di dalamnya para pelaku UMKM di daerah wisata itu. Untuk itu, pelayanan dari para UMKM terhadap para wsatawan itu harus tertap dijaga kualitasnya.
“Munggu deoan di Bali akan ada acara internasional, lalu agenda G20 juga nanti di Bali. Tentu ini harus disambut positif, wisman yang turun drastis saat pandemi sekarang bisa pulih lagi. Dengan kita memperbaiki diri saat dibukanya jalur wisata, maka jangan lagi ada alasan dua tahun vakum, tenaga kerjanya mulai dari nol lagi. Ini jangan terjadi. Memang beberapa daerah masih belum ready. Untuk itu, kami di Kemenkop UKM kita kejar program untuk meningkatkan kualitas SDM (UMKM),” papar Fixy.
Ikuti Tren
Lebih jauh dia menegaskan, para UMKM di sector pariwisata apalagi itu wisata super priorotas, seperti Danau Toba, Candi Borobudur, KEK Mandalika, Labuan Bajo dan di Kupang. Diharapkan, seiring dimulainya kunjungan wisman itu, para pelaku UMKM di sana harus siap dengan fenomena baru ini.
Untuk itu, kata dia, UMKM sector wisata ini harus bias mengikuti tren yang ada, termasuk pola pikir dari para wisman usai adanya Covid-19 ini. Pasalnya, dengan adanya Covid ada perubahan pola pikir, mereka jauh lebih sadar akan masalah kesehatan dan turunannya seperti masalah lingkungan. Sehingga, produk yang go green, daerah yang ramah lingkungan, waste management yang baik itu akan sangat mendapat perhatian dari para wisman itu. Terutama dari mancanegara.
Dan tren selanjutnya adalah digitalisasi. Dengan adanya pandemic ini, dia berharap para pelaku UMKM ini bisa mengembangkan digitalisasi dan IT dalam menjalankan bisnis mereka. Karena saat ini banyak wisman yang mencari informasi lewat website, dari pada datang langsung ke UMKM itu.
“Harus bisa ikut tren yang ada. Sebab digitalisasi ini hal yang sangat penting. Tapi kalau ditanya lagi, jumlah UMKM yang melek computer berapa? Ternyata masih sangat kecil tidak sampai 15% yang sudah melek computer padahal saat ini sudah era digitalsiasi. Makanya butuh sinergi untuk melakukan bersama,” katanya dengan menambahkan, saat ini pemerintah sudah mengembangkan program Bangga Buatan Indonesia (BBI).
“Jadi pengelolaan destinasi wisata ini harus sama-sama kita lakukan. Jadi kebijakan di ekonomi kreatif dari Parekraf, dari sisi standarisasi ada melibatkan BRIN, dll. Dan dari kami pengembangan UMKM. Lalu sector transprotasi juga penting melibatkan kementerian Perhubungan agar bisa membuka aksesnya. Maka kalau dikembangkan lebih baik lagi akan ada kunjungan wisman seperti sebelum pandemic,” pungkas Fixy.
FOTO: Istimewa