Jakarta, TopBusiness – Pemerintah terus menggalakkan penanaman modal atau investasi di bidang ekonomi hijau. Indonesia memang memiliki potensi besar dalam sektor ini. Bank Indonesia memproyeksikan, potensi nilai investasi di sektor bisnis yang berkaitan dengan ekonomi hijau ini mencapai lebih dari US$ 600 miliar.
Sejumlah sektor yang diprediksi bakal menjadi primadona investasi hijau pada tahun depan antara lain pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan pengembangan ekosistem kendaraan listrik (EV).
Menurut Inez Stefanie, Co-Founder Supernova Ecosystem, besarnya prospek ekonomi hijau ini memerlukan dukungan dari sektor lain, seperti sektor keuangan dan swasta. Pasalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan hanya mampu mendukung sekitar 34 persen kebutuhan investasi hijau.
“Tak mengherankan, jika dalam satu tahun terakhir, industri perbankan dan pembiayaan makin gencar menerbitkan instrumen investasi hijau dalam bentuk obligasi hijau (green bond). Dan berdasarkan data industri perbankan nasional, per kuartal III 2022, sejumlah bank nasional tercatat telah menyalurkan lebih dari Rp690 triliun untuk kredit hijau,” terang dia, dalam keterangangannya, Kamis (22/12/2022).
Namun, kata dia, ekonomi dan investasi hijau sejatinya tidak hanya berkaitan dengan sektor-sektor tersebut. Lebih luas lagi, ekonomi hijau adalah adalah proses pengembangan ekonomi yang tetap memperhatikan dampak lingkungan, seperti tingkat karbon di udara, efisiensi sumber daya alam, dan dampak sosial.
Ekonomi hijau berfokus pada proyek atau bisnis ramah lingkungan, yang pada praktiknya menerapkan konsep environmental, social, and governance (ESG) sehingga bisnis bisa tetap berkelanjutan dan mempertahankan dampaknya.
“Sayangnya, di Indonesia, penerapan konsep ESG ini masih belum dipahami dan disadari pentingnya, terutama di tingkat usaha mikro, kecil, dan menengah. Padahal, penerapan konsep ESG merupakan langkah awal agar sebuah usaha bisa menjalankan praktek bisnis sesuai dengan konsep ekonomi hijau, yakni berkelanjutan,” katanya.
Kurangnya kesadaran penerapan prinsip tata kelola usaha yang baik itulah, menurut Inez, yang menjadi penghambat pelaku usaha di Indonesia ketika hendak naik tingkat mengembangkan bisnisnya.
“Banyak perusahaan yang praktik tata kelolanya kurang solid, akibatnya mereka sulit mendapatkan pendanaan (investasi) dari pihak lain,” ujar da. “Karena itu, penting bagi pelaku usaha untuk mulai menerapkan prinsip tata kelola usaha yang baik demi menjaga keberlangsungan usahanya.”
Di sisi lain, meningkatnya tren penyaluran pembiayaan atau investasi hijau, membuat animo masyarakat untuk masuk ke sektor ini juga membesar. Satu hal yang perlu dicatat, kata Inez, kendati pelaku usaha di sektor ekonomi hijau didorong untuk menerapkan prinsip dan konsep ESG dalam menjalankan bisnisnya, namun ada sejumlah hal yang harus dipahami para investor yang tertarik masuk ke sektor ini.
“Pada prinsipnya, investor yang masuk ke sektor ekonomi hijau juga harus memahami fundamental bisnis yang mereka pilih sebagai portofolio investasi,” kata Inez. “Sebagai ilustrasi, ketika masuk ke bidang usaha yang berkaitan dengan komoditas perkebunan, investor harus paham prospek komoditas yang ditawarkan.”
“Investor harus tahu bagaimana komoditas itu nantinya dijual, siapa pembelinya, dan bagaimana prospek ke depannya. Selain itu, investor juga harus mampu membaca kondisi alam yang dapat mempengaruhi hasil produksi usaha yang dipilih,” ujar dia.
Sebetulnya, Inez menambahkan, berinvestasi di sektor ekonomi hijau juga sama dengan berinvestasi di sektor usaha konvensional. Prinsip kehati-hatian dan selektif dalam memilih portofolio mutlak diperlukan.
“Investor tetap perlu memperhatikan kredibilitas platform agregator yang menawarkan produk investasi, serta menakar imbal hasil investasi yang ditawarkan, realistis atau tidak. Dan satu hal lain yang tak kalah penting, ialah menyesuaikan profil risiko suatu produk investasi dengan karakteristik setiap investor,” pungkasnya.