Jakarta, TopBusiness – Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tidak hanya ditentang kalangan pekerja atau buruh, tapi juga pelaku indusri.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja. Ada beberapa poin yang dinilai akan menurunkan penyerapan tenaga kerja.
Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani menyebut salah satu poin yang meresahkan pengusaha yakni ihwal formula Upah Minimum (UM). “Kalau mengikuti seperti Permenaker 18, saya mengandaikan, andaikata tetap seperti itu di mana inflasi ditambahkan pertumbuhan ekonomi dikalikan indeks tertentu. Ini sebetulnya malah akan menyusutkan tenaga kerja karena upah minimum Indonesia berpotensi menjadi yang tertinggi di ASEAN dalam 5 tahun mendatang,” paparnya dalam konferensi pers yang digelar Apindo terkait (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Selasa (3/1/2023).
Dia melanjutkan, saat ini kondisi penciptaan lapangan kerja semakin menurun, di mana berdasar data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam 7 tahun terakhir daya serap pekerja turun tidak sampai sepertiganya. “Maka, kebijakan kenaikan upah minimum berdasar formula Perppu akan semakin membebani dunia usaha,” tukasnya.
Menurut proyeksi Apindo yang diolah dari berbagai sumber, pada tahun 2025 upah minumum di Indonesia akan menjadi yang tertinggi di ASEAN.
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Apindo DKI Jakarta Nurjaman meminta Dewan Pimpinan Nasional Apindo bergerak maju agar suara pengusaha bisa didengar dan menjadi pertimbangan pemerintah. Pasalnya, hingga dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja ini Apindo sama sekali tidak dilibatkan.
Padahal, kata dia, Apindo adalah pihak yang berkepentingan dan terkait langsung dengan Perppu Cipta Kerja ini. “Kita sudah kecolongan dua poin. Satu di Permenaker kita kecolongan, kedua di Perppu kita kecolongan. Karena saya dapat informasi ternyata Apindo tidak diajak sama sekali (dalam merumuskan),” ungkapnya.
“Kita masih punya harapan besar dari Perppu ini kan akan keluar PP (Peraturan Pemerintah), jangan sampai Apindo juga tidak diajak bicara. Itu pesan kami,” tandasnya.
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan SDM BPP Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Nurdin Setiawan juga mengeluhkan terkait penerbitan Perppu tersebut.
Menurutnya, kalau melihat situasi dan kondisi saat ini dengan keluarnya Perppu Cipta Kerja, akan berdampak terhadap hilangnya kepastian hukum.
“Kita sudah tidak memiliki lagi kepastian hukum dalam hal apapun. Baik dalam ketenagakerjaan dan sebagainya,” ujarnya
Lebih lanjut, dia menceritakan, bahwa penurunan pesanan produk tekstil sudah berlangsung sejak awal 2022 hingga berlanjut di 2023.
“Kami dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia sejak awal 2022, di mana terjadi penurunan order 30 persen hingga 50 persen. Bahkan sekarang anggota juga, yakni perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor dan basisnya padat karya di kuartal I 2023 Januari hingga Maret ini rata-rata order hanya 65 persen,” kata Nurdin.
Artinya, lanjut dia, ada 35 persen secara operasional utilitas perusahaan kosong yang di saat bersamaan upah tenaga kerja harus dibayarkan.
“Nah alih-alih kita ingin lakukan satu upaya bagaimana perusahaan bisa tetap sustain, tapi hubungan kerja tetap terjaga, perlindungan ke perusahaan padat karya berorientasi ekspor, dan ekosistemnya malah tidak dapat itu dari pemerintah.
Malah jadi beban lebih banyak karena di perusahaan padat karya itu biaya tenaga kerja termasuk biaya terbesar kedua setelah material,” pungkasnya.
Sikap Pekerja
Sebelumnya, serikat pekerja/buruh menolak isi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2/2022 tentang Cipta Kerja karena dinilai belum sesuai dengan permintaan buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyampaikan, bahwa isi Perppu tersebut tidak beda jauh dengan UU Omnibus Law. Pihaknya menyoroti ada 9 poin yang perlu jadi sorotan dalam Perppu tersebut.
“Sikap kami menolak atau tidak setuju dengan isi Perppu Cipta Kerja, setelah mempelajari menelaah mengkaji salinan Perppu No.2/2022 yang beredar di media sosial. Ada 9 poin yang kami sandingkan dengan UU Omnibus Law dan UU No. 13/2003,” kata Said dalam Konferensi Pers secara virtual, Minggu (1/1/2023).
Adapun, 9 poin tersebut terkait penetapan upah minimum, tenaga kerja alih daya atau outsourcing, pembayaran pesangon, ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), keberadaan tenaga kerja asing (TKA), terkait sanksi pidana, jam kerja, dan cuti Panjang.
Pertama, Said Iqbal menyatakan bahwa para buruh menolak aturan penetapan upah minimum (UM) menggunakan terminologi indeks tertentu, tanpa dijelaskan indeks yang dimaksud. Dia menegaskan bahwa para pekerja meminta kenaikan UM berdasar inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, penetapan upah minimum kab/kota (UMK) yang disebutkan dapat diputuskan oleh gubernur, dirinya meminta harus diputuskan oleh gubernur masing-masing provinsi. Khawatir dengan ketentuan tersebut, bila terjadi pergantian gubernur, aturan akan berubah-ubah juga.
Keberadaan aturan upah minimum sektoral juga dirinya tidak ditemukan dalam Perppu, padahal pekerja/buruh menginginkan adanya upah tersebut. Soal aturan penetapan UM, Said Iqbal juga menyoroti adanya ketentuan dalam pasal 88 Perppu No.2/2022 yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
“Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formulasi baru, artinya Menaker bisa ubah-ubah formula. Semua sektor industri bisa diubah-ubah, kan tidak semua sektor tidak mampu, ada yang mampu. Jangan mengubah-ubah formula,” ujarnya.
Kedua, selain upah minimum, Said Iqbal meminta alih daya tetap diperbolehkan dengan penjelasan jenis-jenis pekerjaannya. Ketiga, ketentuan pesangon yang tidak berubah dari UU Ciptaker, harus Kembali ke UU No.13/2003. Keempat, meminta adanya periode untuk PKWT yang sesuai dengan UU No.13/2003.
Kelima, PHK harus ada izin dari Direktorat Jenderal Perhubungan Hubungan Industrial dan Jaminan Ketenagakerjaan Kemenaker. Keenam, tenaga kerja asing unskilled atau buruh kasar dilarang bekerja di Indonesia. Ketujuh, mengembalikan ketentuan sanksi pidana ke UU No.13/2003. Kedelapan, pengaturan jam kerja Kembali ke UU yang sama dengan sanksi pidana.
Terakhir, Said Iqbal beserta buruh menginginkan aturan cuti panjang tetap ada. Meski secara tegas menolak isi dari Perppu teranyar tersebut, Said Iqbal mengungkapkan lebih memilih pembahasan revisi UU Omnibus Law Cipta Kerja dalam bentuk Perppu, ketimbang Pansus dan Baleg di DPR.
“Memandang revisi terhadap Omnibus Law Cipta Kerja adalah melalui jalur Perppu dengan pertimbangan mosi tidak percaya DPR, untuk sekarang. Adanya pengalaman di awal pembahasan Omnibus Law beberapa tahun lalu, di mana buruh, petani dan nelayan merasa dibohongi sehingga muncul mosi tidak percaya kepada DPR,” ujar Said Iqbal.
Secara umum, dirinya menilai Perppu semakin tidak jelas mengatur Cipta Kerja. Senada dengan Said Iqbal, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, pun melihat adanya Perppu membuat aturan semakin tidak jelas dan memaksa agar UU Cipta Kerja tidak diganggu gugat.