Jakarta, TopBusiness – Ekspor mineral mentah jenis bauksit akan dihentikan dan dilarang mulai Juni 2023. Larangan ekspor tersebut disebut sebagai komitmen hilirisasi bauksit yang dipercaya akan meningkatkan nilai tambah ekspor.
Menjelang kebijakan larangan ekspor komoditas tambang bauksit, Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai, pemerintah belum memiliki rencana yang jelas ihwal hilirisasi bahan mentah. Tanpa perencanaan matang kebijakan itu justru bisa merugikan Indonesia.
“Kami tidak melihat pemerintah merencanakan rantai pasok dalam hal ini untuk industri alumunium sampai ke level siapa yang akan mengkonsumsi produk itu. Hanya sebatas larangan, lalu dengan itu investasi akan masuk,” kata Kepala Center Industry, Trade and Investment, Indef, Andry Satrio Nugroho dalam diskusi Larangan Ekspor Bauksit dan Dampaknya yang diadakan oleh Indef secara daring pada Rabu (31/5/2023).
Andry menuturkan, pemurnian bauksit berbeda dengan nikel yang ekspornya telah lebih dulu dilarang. Pemurnian nikel yang panjang memberikan banyak nilai tambah, tak hanya sebagai bahan baku baterai tapi bisa digunakan untuk pembuatan stainless steel. Sementara itu, proses pemurnian bauksit lebih sederhana dan hanya bisa diproses menjadi alumina dan alumunium sebagai produk akhir.
Pemerintah pun menginginkan, kebijakan larangan ekspor bauksit diharapan dapat membawa arus investasi untuk masuk ke Indonesia demi mendukung hilirisasi. Hanya saja, bila investasi tetap minim, justru akan menurunkan kinerja ekonomi daerah-daerah penghasil bauksit.
“Kita lihat Indonesia mengambil jalan pintas dengan larangan ekspor sementara negara-negara lain (yang membangun hilirisasi) tidak melarang ekspor. Kami melihat ini cenderung tergesa-gesa,” kata Andry.
Ia memaparkan, dari 10 negara terbesar produsen bauksit, produksi alumina dari bauksit di Indonesia hanya mencapai 5,2 persen atau di atas Guinea yang terendah dengan persentas 0,5 persen. Sementara negara lain, bahkan mencapai di atas 41 persen.
“Namun, hanya Indonesia yang melarang ekspor bauksit. Hilirisasi bauksit akan berhasil kalau industri di hilirnya juga sudah kuat,” kata dia.
Hal yang sama juga dikatakan ekonom Indef lainnya, Ahmad Heri Firdaus. Menurut dia, jika pemerintah menginginkan hilirisasi, maka prosesnya harus dilakukan secara menyeluruh.
Untuk melakukan hilirisasi menyeluruh, menurut Ahmad, pemerintah harus memahami kapasitas maksimal industri pengguna bauksit. Saat ini, 51.1 persen bauksit digunakan sebagai logam nonbesi, 30.04 persen sebagai bahan konstruksi logam, 17.9 persen besi dan baja, serta 0.06 persen barang cor logam. Industri yang memanfaatkannya meliputi konstruksi, transportasi, dan elektronik.
“Kita harus tahu kapasitas maksimal mereka. Jika ditambah bahan bakunya, apakah siap? Bagaimana kesiapan smelter-nya?” kata Ahmad
Menurut data Indef, jika ekspor bauksit dilarang, hal ini akan berimplikasi negatif untuk industri terkait. Sementara itu, jika hilirisasi dimaksimalkan dengan investasi dan dilakukan secara menyeluruh, hasilnya akan positif.
“Artinya, ekspor bauksit ini tidak perlu dilarang. Dia akan berkurang dengan sendirinya jika ada permintaan di dalam negeri. Bisa diciptakan melalui hilirisasi menyeluruh, mulai dari pemurniannya, produk barang intermediate-nya, sampai ke hilir,” jelas Ahmad.
Dia menegaskan bahwa membangun ekosistem yang mendukung hilirisasi menyeluruh adalah hal yang harus dilakukan. Menurutnya, hilirisasi harus dilakukan apabila memang dinilai akan efektif.
“Jika hanya melarang tanpa langkah yang lebih komprehensif, baik di intermediate industri hingga ke hilirnya, kemudian juga upaya kebijakan fiskal, perdagangan, dan tenaga kerja, maka akan tidak efektif, dilihat dari turunnya output,” kata Ahmad