Jakarta, TopBusiness – Kualitas udara di Indonesia beberapa pekan terakhir menjadi perhatian masyarakat terutama setelah banyaknya pemberitaan media massa mengenai kondisi beberapa kota di wilayah Jabodetabek yang menempati peringkat tertinggi sebagai kota dengan kualitas udara berkategori buruk di dunia versi IQAir, dan termasuk dalam tingkat udara yang tidak sehat.
Dalam menentukan kualitas udara di suatu wilayah tentu harus didukung oleh data yang akurat dan valid. Untuk itu penjaminan fungsi alat pemantauan kualitas udara yang digunakan menjadi hal yang sangat krusial dan kritikal.
Dalam mengukur kualitas udara, alat yang digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang saat ini berjumlah 56 unit di Indonesia. Sebanyak 15 unit ada di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta.
Dalam rangka untuk menjamin kualitas data pemantauan udara, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 9178:2023 Udara ambien – Uji kinerja alat pemantauan kualitas udara yang menggunakan sensor berbiaya rendah.
Deputi bidang Pengembangan Standar BSN, Hendro Kusumo di Kantor BSN, Jakarta pada Jumat (01/09/2023) mengatakan bahwa penetapan SNI 9178:2023 diharapkan dapat memberikan acuan dalam pengujian terhadap kinerja alat pemantauan kualitas data pemantauan udara ambien dan SNI dapat menjadi rujukan dalam penentuan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup.
“Dalam SNI ini, yang dimaksud udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang dibutuhkan dan berpengaruh terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup, dan unsur lingkungan hidup lainnya,” ujar Hendro.
Lebih lanjut Hendro menginformasikan bahwa SNI 9178:2023 disusun oleh Komite Teknis 13-03 Kualitas Lingkungan dan ditetapkan oleh Kepala BSN pada tanggal 15 Agustus 2023.
“Kedepannya, penerapan SNI ini diharapkan dapat mengatasi kekhawatiran terkait validitas data yang dihasilkan dari penggunaan sensor berbiaya rendah pada alat pemantauan kualitas udara sehingga bila alat telah lulus uji berbasis SNI, maka informasi yang tersedia lebih dapat diandalkan dan bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Hendro.
Sensor berbiaya rendah saat ini menjadi alternatif alat ukur indikatif atau peringatan dini untuk mendapatkan informasi awal, sebelum pengukuran lanjut yang lebih detail dengan menggunakan alat ukur referensi yang lengkap dan berharga mahal.
Sensor berbiaya rendah berbeda dengan alat ukur referensi yang dirancang untuk memenuhi persyaratan uji kinerja yang ketat dan digunakan dalam penegakan regulasi. Akan tetapi, sensor berbiaya rendah mempunyai kelebihan dapat memberikan informasi konsentrasi polutan udara yang relatif lebih cepat atau instan dan memungkinkan dilakukannya pengukuran kualitas udara di lebih banyak lokasi.
SNI 9178:2023 menetapkan persyaratan dan pelaksanaan uji kinerja alat pemantauan kualitas udara ambien aktif kontinyu yang menggunakan sensor berbiaya rendah melalui kalibrasi, kolokasi di lapangan, dan validasi data.
Hendro mengungkapkan bahwa sesuai persyaratan SNI 9178:2023, alat pemantauan kualitas udara yang menggunakan sensor berbiaya rendah harus telah terkalibrasi, kemudian juga dilakukan uji kinerja alat melalui kolokasi; dan validasi data.
“Yang dimaksud terkalibrasi yaitu harus diperiksa untuk memastikan peralatan berada dalam performa maksimal sesuai dengan fungsinya; digunakan sesuai petunjuk pengoperasian atau instruksi manual dan menjaga ketertelusuran pengukuran alat tersebut dengan standar acuan nasional yang ada di laboratorium SNSU (Standar Nasional Satuan Ukuran) BSN, yang sekaligus sebagai National Metrology Institute (NMI) yang mewakili Indonesia dalam penjaminan ketelusuran pengukuran ke tingkat internasional yang dikelola oleh BIPM (Bureau International des Poids et Mesures). Secara umum kalibrasi dilakukan dengan membandingkan pembacaan konsentrasi alat kalibrator dengan pembacaan konsentrasi peralatan yang diuji,” jelas Hendro.
Hingga saat ini, BSN telah menetapkan SNI terkait kualitas udara sebanyak 62 SNI dan terkait manajemen lingkungan, sebanyak 37 SNI.
Dengan ditetapkan SNI 9178:2023, Hendro meyakini bahwa dalam pelaksanaan pemantauan kualitas udara Indonesia yang menggunakan alat yang memenuhi persyaratan SNI maka akan dapat menghasilkan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, yang pada akhirnya dapat mendukung pengambilan kebijakan yang tepat dalam upaya pencegahan kualitas udara yang buruk.