Jakarta, TopBusiness – Indonesia menjadi kandidat kuat sebagai pusat pengembangan Carbon Capture Storage (CCS) di kawasan regional Asia karena diakui memiliki kapasitas storage CO2 dalam jumlah besar. Namun untuk mewujudkannya pemerintah perlu menjalin kerja sama dengan negara lain yang memiliki pengalaman dalam bisnis penangkapan karbon.
Jodi Mahardi, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Marves), mengungkapkan Indonesia dianugerahi dengan kapasitas karbon storage yang sangat besar sehingga pemerintah berani mematok target tinggi dalam upaya menurunkan emisi.
“Kami realistis bahwa salah satu teknologi yang mampu melakukan dekarbonisasi dalam jumlah besar adalah dengan mengimplementasikan CCS,” ungkap Jodi dalam Special Session 1 “Enablers for Cross Border CO2 : G2G Bilateral Cooperations”, IPA Convex 2024. Rabu (15/5).
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) nilai investasi CCS di seluruh dunia mencapai US$6,4 miliar, sebesar US$1,2 miliar di antaranya berasal dari Asia.
Saat ini ada 15 proyek CCS dalam tahap studi dan pelaksanaan seperti di Sunda Asri, Tangguh, Saka Kemang, dan lainnya. Selain itu CCS juga diharapkan bisa menciptakan bisnis baru seperti blue hydrogen dan blue ammonia. Selain memiliki storage dengan kapasitas besar, secara geografis Indonesia juga sangat strategis yang dekat dengan emmiter seperti Singapura, Korea Selatan dan Jepang. Indonesia juga jadi salah satu negara Asia yang memiliki regulasi mendukung untuk implementasikan CCS.
Taichi Noda, Director General Business Strategy Department Japan Organization for Metals Energy Security, menjelaskan ada tiga poin utama dalam pengembangan bisnis CCS pertama adalah regulasi, kepastian proyek serta dari sisi keekonomian
“Pemerintah Jepang baru bergerak setelah ada kepastian regulasi tahun lalu ada tanda tangan kerja sama antara Jogmec dan Petronas,” ungkap Taichi.
Keith Tan, Deputi Sekretaris Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura, menilai kerja sama antarpemerintah untuk wujudkan injeksi CO2 antar negara adalah keharusan. Di dalamnya harus disusun standar desain serta model bisnis yang bisa digunakan antar negara.
“Indonesia dan Malaysia misalnya diberkati kapasitas storage. Bagaimana kita bisa kerja sama, kami pelajari model bisnis, G to G, siapkan signal untuk commercial players. Di eropa CCS project berjalan dengan adanya tax, insentif, kita di asia siapkan standardisasi dan target. Pemerintah menyiapkan memastikan kerangka kerja bagi para pelaku usaha untuk jalankan CCS,” jelas Keith.
Sementara itu Hong Sukyung, Direktur Divisi Teknologi Energy, Kementerian Perdagangan, Industri dan Energi Korea Selatan, menegaskan tidak hanya pemerintah namun pelaku usaha baik itu badan usaha milik negara maupun swasta juga harus berperan dalam wujudkan CCS. Bahkan untuk jangka panjang pemeritah harus menginisiasi CCS di berbagai lembaga Pendidikan dalam rangka Riset dan Pengembangan Teknologi CCS yang lebih efisien.
“Swasta dan pemerintah harus kerja sama. Penting untuk sharing study informasi. Penting untuk bisa mengenalkan kurikulum tentang CCS di umiversitas untuk pengembangan industri CCS dalam jangka panjang,” ujar Hong.