Jakarta, TopBusiness – Masuknya produk keramik dari China secara masif telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi industri keramik lokal.
Ketersediaan barang-barang keramik impor yang melimpah di pasar domestik telah menciptakan ketidakadilan persaingan, di mana produk-produk asing sering kali dijual dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan produk buatan dalam negeri.
Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional Prof. Dr. Ariawan Gunadi, S.H., M.H mengatakan Pemerintah Indonesia perlu mengambil beberapa langkah strategis guna memperkuat industri keramik dalam negeri dan memastikan perlindungan yang optimal bagi pelaku usaha domestik.
Menurut Ariawan, Pemerintah perlu segera membatasi impor dengan menerapkan kebijakan Bea Masuk Antidumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) yang serupa dengan langkah-langkah yang diambil oleh negara-negara seperti Uni Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat, dan Amerika Utara. “Sebagai contoh, Amerika Serikat menerapkan tarif BMAD hingga mencapai lebih dari 356,02 persen untuk produk keramik asal China guna memproteksi industri dalam negeri. Langkah ini penting untuk melindungi industri keramik dalam negeri dari dampak negatif persaingan tidak sehat yang disebabkan oleh barang-barang impor yang dipasarkan dengan harga dumping,” beber Ariawan kepada wartawan di Jakarta, Sabtu, 6 Juli 2024.
Lebih lanjut ia mengatakan langkah lain yang dapat ditempuh pemerintah adalah penguatan regulasi melalui penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). Standar SNI memainkan peran krusial dalam membangun kepastian hukum dan menciptakan keadilan bagi pelaku usaha domestik. Melalui penerapan SNI, diharapkan akan tercipta sebuah sistem yang memastikan bahwa produk keramik yang diimpor dari China benar-benar memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
“Dengan adanya penerapan standar SNI ini, setiap produk keramik impor asal China yang beredar di pasar tidak hanya diharuskan untuk memenuhi standar teknis dan kualitas yang telah disepakati, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para produsen lokal dalam menghadapi persaingan pasar,” sambungnya.
Guru Besar Universitas Tarumanagara ini juga mengatakan pemerintah perlu melakukan harmonisasi regulasi impor yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, dengan tujuan untuk menemukan keseimbangan yang adil dalam perdagangan internasional. Harmonisasi ini akan memastikan bahwa regulasi yang diterapkan tidak bertentangan
“Terakhir, penegakan hukum yang tegas sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kolusi antara eksportir, importir, atau pihak-pihak terkait lainnya untuk melakukan praktik-praktik curang seperti manipulasi harga, pemalsuan dokumen, atau penghindaran pajak yang merugikan negara,” ujarnya.
Namun demikian ia mengingatkan agar Pemerintah Indonesia tetap memperhatikan dan mewaspadai potensi respons dari pihak China terhadap kebijakan tarif BMAD dan BMTP yang akan diimplementasikan. Menurutnya, kebijakan BMAD dan BMTP berpotensi menimbulkan dampak signifikan dalam bentuk tindakan balasan oleh pemerintah China, yang dapat mempengaruhi kinerja ekspor produk unggulan Indonesia seperti yang terlihat dalam perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
“Dalam konteks ini, jika BMAD dan BMTP menerapkan kebijakan tarif atau regulasi tertentu, China mungkin akan menanggapi dengan menetapkan tarif balasan yang dapat menekan ekspor produk-produk utama Indonesia ke pasar China. Penting bagi pemerintah untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif dari kebijakan ini terhadap hubungan perdagangan bilateral dan mencari solusi yang dapat mengurangi risiko tersebut dengan tetap melindungi kepentingan industri dalam negeri,” tutupnya.