Jakarta, TopBusiness – Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo menilai, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang awalnya dicita-citakan untuk meningkatkan investasi ternyata belum membuahkan hasil maksimal. Persoalan mendasar dari penerapan UU Cipta Kerja di lapangan ini karena belum tersentralisasi nya proses perizinan berusaha.
Evaluasi terhadap penerapan UU Cipta Kerja ini menjadi salah agenda utama Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional (Rakerkonas) ke-33 Apindo yang akan digelar pada 28 hingga 30 Agustus 2024 di Surabaya.
Direktur Apindo Riset Institute Agung Pambudi mengatakan, pihaknya sudah menerima masukan dari pengusaha yang tergabung dalam Apindo. “Masukan tersebut nantinya akan dirumuskan menjadi rencana strategis untuk disampaikan kepada pemerintah,” tutur Agung dalam konferensi pers di kantor Apindo, Jakarta, Jumat (23/8/2024).
Secara umum, Agung mengatakan di sejumlah sektor perizinan, keberadaan UU Cipta Kerja tidak banyak membantu. Bahkan, kata dia, ada aturan turunan yang begitu banyak sehingga tumpang tindih dalam penerapannya.
“Ada beberapa persoalan, terutama soal perizinan berusaha. Dalam beberapa tingkatan ada perizinan yang lebih rumit dalam konteks setelah UU Cipta Kerja seperti perizinan lingkungan,” kata Agung.
Sementara itu, Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Apindo, Herman N. Suparman, melihat masih banyak aturan turunan UU Cipta Kerja gagal menjawab kebutuhan dalam hal kemudahan perizinan. Dia mengatakan tanpa ada arahan spesifik soal sentralisasi pelayanan perizinan, proses investasi di daerah tetap sulit dilakukan.
Dia menilai seharusnya ada aturan khusus yang menangani perizinan agar terpusat. “Saat ini kementerian dan lembaga cenderung mempertahankan sistem mereka sendiri,” kata Herman.
Menurut dia hal ini akan menghambat tujuan utama dari UU Cipta Kerja, yakni penyederhanaan dan mempercepat proses perizinan.
Cukai Minuman Berpemanis
Selain UU Cipta Kerja, Apindo saat ini memantau penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Peraturan pemerintah ini juga mengatur rencana pembatasan kadar gula dalam makanan dan minuman yang beredar di pasar, termasuk pengenaan cukai minuman berpemanis.
Ketua Apindo Shinta Kamdani mengatakan, Apindo sudah berdiskusi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk memberikan masukan. Shinta khawatir penerapan cukai minuman berpemanis bisa berdampak buruk pada industri.
“Cukai dapat menyebabkan kenaikan harga. Ini akan memengaruhi daya beli masyarakat. Ketika permintaan turun, produksi juga menurun. Tentu saja, ini bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jangka panjang,” jelas Shinta.
Shinta mendorong pemerintah untuk melibatkan sektor swasta dalam penyusunan peraturan turunan terkait cukai minuman berpemanis.
“PP Nomor 28 Tahun 2024 sudah diterbitkan, jadi silakan jika ada yang ingin mengajukan uji materi. Namun, kami dari Apindo berharap pemerintah benar-benar melibatkan sektor swasta dalam penyusunan peraturan turunan,” ujar Shinta.
Industri makanan dan minuman menyumbang 39% dari produk domestik bruto (PDB) non-minyak dan gas pada 2023. Pangsa sektor industri makanan dan minuman dalam PDB nasional mencapai 6,55% pada 2023. Shinta menekankan betapa pentingnya sektor ini bagi ekonomi Indonesia.
“Kami memahami bahwa pemerintah ingin menerapkan cukai ini karena alasan kesehatan. Namun, apakah cukai ini benar-benar akan membantu mengatasi masalah kesehatan?” katanya.
Menurut dokumen rancangan APBN 2025, pemerintah akan menerapkan cukai minuman berpemanis mulai tahun depan, yang merupakan tahun pertama presiden terpilih Prabowo Subianto menjabat. Pemerintah menargetkan bisa menghimpun sekitar Rp 244 triliun dari cukai gabungan produk tembakau, minuman yang mengandung alkohol etil atau etanol, dan minuman berpemanis pada 2025.