Jakarta, TopBusiness – Dosen program S2 ET, Universitas Darma Persada menjelaskan penolakannya kepada pasal Power Wheeling dalam RUU EBET/RUU ETEB melalui acara yang diselenggarakan oleh IRES di Jakarta.
Pasalnya adalah “dengan dibukanya kesempatan pemanfaatan bersama jaringan (Permen ESDM No.01/2015), namun bukan berarti “Power Wheeling” diperbolehkan dalam RUU ETEB/RUU EBET” karena:
• Disparitas harga listrik yang lebih mahal dari apa yang telah diregulasikan oleh Pemerintah, akan mengakibatkan permasalahan baru yang dapat merugikan pemasukan negara,
• Memerlukan kesiapan PLN dan PIUPL Terintegrasi sebagai pemilik dan pengelola jaringan (pertumbuhan beban dan jaringan),
✓ Permasalahan teknis batasan Kapasitas Jaringan 80%,
✓ Permasalahan gangguan (Tegangan, Stabilitas Frekuensi, Harmonisasi, Susut Jaringan, mengakibatkan kenaikan losses, dan lain sebagainya),
✓ Permasalahan model perhitungan komponen sewa (biaya) yang berkeadilan (metoda menentukan charge untuk Power Wheeling), dan
✓ Permasalahan Grid Code dan Distribution Code yang saat ini masih perlu dianalisa lebih detil.
Riki selanjutnya menjelaskan manfaat dan mudarat dari Power Wheeling, untuk Indonesia yang harga Listrik Energi Terbarukan yang akan berbeda dengan harga listrik yang ditentukan oleh Pemerintah itu “akan menghilangkan kesempatan pihak PLN menjual listriknya kepada pihak pembeli sebagai konsumen”. Apalagi pihak pembeli berada dalam wilayah usaha PLN – Layak untuk PLN yang menjual listriknya dan bukan pihak lain.
Power wheeling diperkenankan hanya untuk Pembangkit/penjual ET dan pihak pembelinya itu dalam satu badan usaha sehingga “tidak terjadi pasar bebas”. Power Wheeling malahan memicu terjadinya “power trading” dalam wilayah usaha PLN. Terkecuali, tidak ada PLN pada kawasan pihak pembeli listriknya itu, maka pihak Pembangkit/penjual ET dapat menjual kepada pihak pembelinya.
Secara alamiah PLN akan memprioritaskan pembangkitan sendiri (atau IPP yang sudah kontrak TOP dgn PLN) dan memprioritaskan kepada konsumennya sendiri. Power Wheeling bukan prioritas bagi sistem operasi pihak PLN, dan pelaku Power Wheeling sewaktu-waktu dapat diputus. Biaya kerusakan pada sistem Jaringan dan Distribusi PLN juga akan menjadi pengurangan pemasukan PLN kepada Negara dan bahkan memungkinkan melonjaknya angka PMN karena untuk menjadikan sistem Grid dan Distribusi PLN yang lebih canggih diseluruh Indonesia.
Umumnya Pada Pasar Bebas Kompetisi:
• Open access transmisi bersifat “non-discriminatory” agar membuat kompetisi antar para Pembangkit/penjual ET, dan non ET satu dengan lainnya berjalan baik,
• Pembangkit/penjual ET, non ET dapat jual-beli listrik langsung sesuai demand, • Memiliki koordinasi yang canggih antara para Pembangkit/penjual ET yang tersebar dan aset transmisinya, untuk memenuhi demand yang tersebar secara least cost,
• Namun harga jual listrik kepada konsumen jadi tinggi (tambah mahal) karena memasukan biaya pengaturan dan pemeliharaan Transmisi.
RUU EBET/RUU ETEB tidak membuka Pasar Bebas karena Pasar Bebas tidak berlaku untuk Indonesia karena dalam UU 30/2009 dan PP 14/2012 terdapat regulasi mengenai wilayah usaha yang melarang penjualan listrik oleh pihak di luar pemegang wilayah usaha.
Oleh karena itu Riki yang juga Dirut PT. Geo Dipa Energi (Persero) tahun 2016-2022 yang bergerak di Energi Terbarukan Geotermal, menyampaikan kesimpulannya bahwa RUU ETEB/RUU EBET yang memaksa sistem pemanfaatan yang berintegrasi untuk terbuka; akan memberikan beban pada sistem pemanfaatan yang menjalankan fungsi koordinasi dan pengiriman listrik yang ekonomis saat ini. Pemaksaan Power Wheeling dalam RUU EBET/RUU ETEB dapat merugikan Negara.
Disparitas harga listrik yang lebih mahal lagi dari apa yang telah diregulasikan oleh Pemerintah untuk ET; kelak akan mengakibatkan ketidakpastian usaha dan menimbulkan permasalahan baru yang dapat merugikan Negara. Berubah-ubah kebijakan harga listrik yang ditentukan oleh satu sistem yang bukan pasar kompetitip, akan menjadi ketidakpastian ber-bisnis,
Sedangkan sebagai rekomendasinya, Riki yang juga Dewan Pengawas METI periode 2022- 2025 menyampaikan bahwa “RUU ETEB/RUU EBET sebaiknya fokus pada pemberian insentip Fiskal yang diperluas dan diperbesar agar ET dapat berkembang cepat di Indonesia, karena terbukti bahwa insentif yang telah diberikan oleh Pemerintah melalui Kementerian Keuangan itu belum menjadikan PERPRES 112/2022 TENTANG PERCEPATAN PENGEMBANGAN ET UNTUK PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK sebagai regulasi percepatan yang andal”,
• Ke depan Indonesia Tidak Menaikan Harga Jual Listrik ET tetapi UU ETEB/UU ETEB memberikan Insentif, agar harga jual Listrik ET dari berbagai teknologi/aplikasi tidak membebani masyarakat pada akhirnya.
• RUU EBET/RUU ETEB segera berlakukan permintaan Pajak Carbon CO2, Polusi Lingkungan, dan Perdagangan Carbon CO2, dll.
RUU EBET/RUU ETEB harus sejalan dengan Putusan MK 2004 dalam arti yang luas bahwa Ketika ada pembenahan dalam tatakelola urusan ketenagalistrikan, maka pembenahan yang dilakukan haruslah memperkuat penguasaan negara untuk dapat melaksanakan kewajiban konstitusionalnya, sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD 194.
Sementara itu, Direktur IRESS, Marwan Batura menegaskan, PW wajib kita tolak, dikarenakan ada aroma titipan tangan Oligakri, para pelaku bisnis akan masuk dalam bisnis jaringan dan distribusi, ujung-ujungnya harga listrik akan naik dan akan menjadi beban masyarakat, tegas Marwan.
Ditegaskan Ketua ISNU, M. Kholid Syeirazi, jika PW ini dimasukkan dalam RUU EBET maka bersiaplah menunggu kematian PLN, dikarenakan beban PLN dalam memikul beban over suplay dari IPP sebesar Rp 18 triliun, jadi Indonesia belum waktunya masuk kepada liberalisasi. Apalagi Oligarki tidak tertarik untuk masuk dalam bisnis jaringan dan distribusi, karena tidak menguntungkan, dengan PW ini mereka akan masuk ke bisnis jaringan ini, jadi kita harus tolak PW ini agar PLN bisa menjadi perusahaan sehat.