Jakarta, TopBusiness – Sub Holding PTPN III, PT Perkebunan Nusantara IV PalmCo mendukung mandatory B35 yang diterapkan pemerintah. PTPN IV PalmCo juga menyiapkan berbagai strategi agar mampu berkontribusi saat kedepannya pemerintah mewujudkan rencana B40 atau bahkan B50.
Bentuk dukungan yang diberikan PTPN terhadap pemanfaatan biodiesel yang mampu menghemat penggunaan bahan bakar fosil tersebut ditunjukkan melalui rencana pembangunan pabrik biodiesel dan mendorong produksi CPO nasional melalui peningkatan produktivitas sawit rakyat.
“Sebagai proyek strategis nasional dan sesuai arahan pemegang saham, PTPN diminta untuk berkontribusi dalam ketahanan pangan dan energi nasional, sehingga, dalam 3 program strategis yang disusun, salah satunya adalah dengan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan,” kata Direktur Utama PTPN IV PalmCo Jatmiko Santosa dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (6/11/2024).
Saat ini, menurut Jatmiko, PTPN IV sedang mengkaji rencana pembangunan pabrik biodiesel di KEK Sei Mangkei Sumatera Utara dengan kapasitas 450 ribu ton RBDPO per tahun. “Kita sedang melaksanakan kajian. Rencananya pabrik Biodiesel tersebut akan dioperasikan oleh PT Industri Nabati Lestari, anak perusahaan PTPN,” katanya.
Di samping itu, masih menurut Jatmiko, pihaknya dalam beberapa tahun ke depan juga merencanakan pembangunan beberapa pembangkit biogas dengan total kapasitas 3 juta mmBTU dan Bio CNG berkapasitas sekitar 1,3 juta MMBTU.
“Ini semua diharapkan dapat mendorong percepatan pengembangan renewable energy yang tentu berdampak baik pada lingkungan,” katanya.
Lebih jauh Jatmiko mengungkapkan peran serta PTPN dalam program B35 dan rencana program B40 bahkan B50 yang dicanangkan pemerintah, PTPN memiliki anak perusahaan yakni PT Riset Perkebunan Nusantara, yang bersama unit kerjanya, Pusat Penelitian Kelapa Sawit telah berhasil melalukan road test atau uji coba B50 pada kendaraan.
“Sejak April 2019 hingga Juli 2024, Mobil B50 kita telah menempuh lebih dari 170 ribu kilo meter tanpa kerusakan yang berarti. Artinya, jangankan B40, mempergunakan B50 di kendaraan bukanlah suatu kemustahilan,” katanya.
Namun, kata Jatmiko, tantangan mendasar yang dihadapi dalam perluasan biodiesel adalah terkait kecukupan produksi minyak sawit dalam negeri. Setiap kenaikan 5% blending biodiesel, membutuhkan supply CPO sekitar 2,81 juta KL.
Secara nasional, B40 membutuhkan 16,08 juta kilo liter, sedangkan B50 membutuhkan 20,11 juta KL RBDPO (produk turunan dari CPO).
“Nah, tentu kita percaya Kebijakan B40 ataupun B50 oleh Pemerintah akan tetap memperhatikan pertumbuhan konsumsi dalam negeri, khusunya industri oleokimia dan minyak goreng sehingga supply CPO untuk pangan tidak terganggu dan tetap tumbuh,” ujarnya.
PalmCo meyakini untuk memenuhi kebutuhan dua sektor tersebut, maka sawit rakyat yang memiliki porsi 40% dari luas sawit nasional, tapi rata-rata produktivitasnya masih rendah berkisar di 3,4 ton CPO per Ha per Tahun, perlu ditingkatkan agar supply CPO nasional terhadap pangan maupun energi tetap tercukupi.
“Kita semua paham bahwa rendahnya produktivitas petani disebabkan oleh umur tanaman sawit rakyat yang sudah tua bahkan renta. Maka percepatan Peremajaan Sawit Rakyat yang ditetapkan pemerintah, menjadi solusi terbaik dalam mengatasi hal
tersebut. Dan bagi PTPN, sejalan dengan arahan pemegang saham, hingga 2026 nanti kita mencoba membantu 60 ribu Ha lahan sawit rakyat untuk dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui peremajaan,” kata Jatmiko.
Dirinya berharap dengan dua strategi tersebut PTPN mampu berkontribusi maksimal dalam mendukung program Biodiesel yang dicanangkan pemerintah dan berdampak pada penghematan bahan bakar fosil.
Sebagaimana diketahui kebijakan biodiesel pemerintah dimulai dengan B 25 yang diatur oleh UU Nomor 30 tahun 2007 dan terus mengalami peningkatan, di mana sejak Februari lalu Pemerintah telah mewajibkan B35.
Adapun sesuai data yang dirilis oleh Kementerian ESDM dan analisa Dirjenbun Kementerian Pertanian RI, perhitungan kebutuhan Bahan Bakar Nabati (BBN) nasional untuk penerapan B35 mencapai 13,4 juta kilo liter sedangkan produksi nasional sendiri diperkirakan hanya 14,13 juta kilo liter.
Hemat US$ 7,9 Miliar
Secara terpisah, Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono mengatakan, pemerintah mendorong peningkatan produktivitas kelapa sawit untuk mendukung implementasi program mendatori B50. Peningkatan pencampuran biodiesel untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung pertanian lokal.
“Dengan mengadopsi B35 pada 2023, Indonesia telah mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan menghemat lebih dari US$ 7,9 miliar untuk impor bahan bakar fosil,” ujar dalam acara IPOC 2025, di Nusa Dua, Bali, Kamis (7/11/2024).
Dia mengungkapkan strategi dalam meningkatkan produktivitas kelapa sawit di antaranya mendorong program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan menggunakan varietas unggul. Selanjutnya, mendukung perusahaan perkebunan untuk meningkatkan hasil panen dengan menerapkan Good Agriculture Practices (GAP) dan varietas kelapa sawit yang lebih produktif.
Penerapan sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan melalui ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan kebijakan perubahan penggunaan lahan yang lebih ketat juga dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit. Selain itu, perlunya mendorong inisiatif peningkatan hasil, penelitian dan pengembangan serta meningkatkan kualitas kelapa sawit petani.
Saat ini, minyak kelapa sawit Indonesia menyumbang sekitar 25% dari produksi minyak nabati dunia atau 59% dari produksi minyak kelapa sawit dunia. Produksi Crude Palm Oil (CPO)/minyak sawit Indonesia pada tahun 2023 sebesar 47,08 juta ton, di mana 10,2 juta ton digunakan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri untuk pangan, 2,3 juta ton untuk industri oleokimia, 10,6 juta ton untuk biodiesel dan 23,98 juta ton untuk ekspor.
“Industri kelapa sawit ini ibaratnya adalah angsa bertelur emas yang sangat penting bagi Indonesia,” kata dia.
Industri kelapa sawit, imbuhnya, tidak hanya menjadi sumber utama pendapatan nasional, tetapi juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 16 juta orang yang bekerja di industri kelapa sawit (on farm dan off farm), termasuk petani skala kecil di berbagai daerah di Indonesia.
Tidak hanya itu, industri kelapa sawit merupakan tulang punggung perekonomian. “Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memastikan bahwa industri ini dapat beroperasi secara berkelanjutan, efisien, dan kompetitif,” jelasnya.