Penulis
Andang Bachtiar*)
Setelah 10 tahun kita melihat Presiden Jokowi seolah-olah menjadi Panglima Tertinggi Infrastruktur Indonesia yang memimpin dengan serius pembangunan masif ribuan kilometer jalan tol, puluhan bendungan, jembatan, fasilitas perbatasan, dan pelabuhan-pelabuhan; maka sudah saatnya sekarang kita punya Presiden Panglima Tertinggi Energi Indonesia karena dalam ASTACITA-nya Presiden Prabowo mencanangkan Swasembada Energi – selain juga Swasembada Pangan – sebagai misinya 5 tahun ke depan. Apakah misi tersebut realistis atau tidak, akan kita bicarakan di tulisan tersendiri; tetapi bahwa Swasembada Energi menjadi salah satu highlight dari Astacita presiden Indonesia 2024-2029, hal itu membawa konsewensi – implikasi yang signifikan: Presiden Prabowo harus menjadi Panglima Tertinggi Energi Indonesia; selain juga secara konvensional menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Duapuluh Oktober 2024 yang lalu, Indonesia memiliki Presiden baru untuk masa jabatan 2024-2029, disusul dengan pelantikan anggota kabinet: para menteri, kepala badan dan Lembaga keesokan harinya. Menteri yang dilantik, jumlahnya 48, lebih banyak dibandingkan kabinet sebelumnya yang hanya 34. Kalau ditambah dengan wakil Menteri dan pejabat setingkat Menteri jumlahnya lebih dari seratus, sementara di pemerintahan sebelumnya totalnya “hanya” limapuluh satu orang. Sebagian besar Menteri dan pejabat-pejabat itu mewakili partai politik anggota koalisi, dengan berbagai ragam kepentingannya. Semakin banyak kepala, maka semakin banyak ide, aspirasi, maupun kepentingan, sehingga akan semakin panjanglah urusan perumusan kebijakan dan birokrasi di negara yang sudah sangat birokratis ini.
Dalam konteks energi, hal di atas tentu menjadi pertanyaan bagi banyak pihak; bagaimana Indonesia bisa mencapai ketahanan, kemandirian, dan – apalagi – swasembada energi seperti yang dicanangkan di Astacita Presiden Prabowo, apabila terlalu banyak tetek bengek birokrasi dan kepentingan yang harus dihadapi oleh (khususnya) para stakeholder / investor bidang energi?
Koordinasi antar lembaga/kementerian akan semakin memakan waktu, yang ujung-ujungnya akan mengurangi efisiensi, efektifitas dan kwalitas keputusan-keputusan strategis. Keputusan-keputusan bisnis dan investasi dari para investor juga akan terdampak akibat panjangnya rantai birokrasi, audiensi, sinkronisasi, konsultasi dan legalisasi kegiatan usaha, yang pada akhirnya berujung kepada ekonomi biaya tinggi. Mau tidak mau, Presiden harus jadi Panglima Tertinggi Energi, “mrantasi” semua potensi masalah yang diakibatkan oleh konsekwensi dari pilihan bentuk dan jumlah kabinet yang dibangunnya sendiri.
Permasalahan Energi Indonesia
Selain potensi masalah baru yang muncul karena format pemerintahan baru yang masif dan lembam di atas, permasalahan energi Indonesia “existing” juga masih menjadi pekerjaan rumah besar untuk menggapai Indonesia Emas 2045.
Siapapun dapat membuat daftar permasalahan energi Indonesia menurut sudut pandang masing-masing. Tetapi untuk kepentingan rujukan yang konsisten, marilah kita cuplik apa yang ditulis secara resmi oleh Dewan Energi Nasional sebagai permasalahan energi Indonesia yang tercantum di Peraturan Pemerintah 79 / 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang kemudian direncanakan jalan keluarnya di Peraturan Presiden 22 / 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Di dokumen-dokumen resmi tersebut dituliskan bahwa: 1) Sumber daya energi masih menjadi komoditas – belum berfungsi penuh sebagai modal dasar pembangunan, 2) Migas kita produksinya terus menurun dan harganya tidak stabil dan tidak bisa kita kontrol, 3) Akses dan infrastruktur energi kita masih terbatas, 4) Ketergantungan terhadap Impor BBM dan LPG, 5) Harga EBT belum kompetitif dan subsidi energi belum tepat sasaran, 6) Pemanfaatan EBT masih rendah, 7) Konservasi dan efisiensi energi masih rendah, 8 ) Litbang dan penguasaan IPTEK masih terbatas, 9) Geopolitik dunia dan isu lingkungan global masih harus terus diadopsi, dan 10) Cadangan penyangga energi masih belum ada. Masalah-masalah tersebut, sejak dirumuskan 2009 dan diresmikan dalam dokumen 2014, sampai sekarangpun tidak kunjung terselesaikan.
Terkait dengan prioritas pembangunan energi nasional, pernyataan yang tertulis di Kebijakan Energi Nasional (PP 79 / 2014) adalah: 1) Maksimumkan pemanfaatan Energi Terbarukan, 2) Minimumkan penggunaan minyak bumi, 3) Optimalkan penggunaan gas bumi, 4) Batubara sebagai andalan pasokan energi nasional, dan 5) Energi nuklir adalah pilihan terakhir. Dari lima pernyataan prioritas itu, hanya poin 4 dan 5 yang terpenuhi dalam 10 tahun terakhir ini, yaitu batubara terus jor-jor-an kita produksi, dan energi nuklir tidak pernah dimulai – karena selalu jadi pilihan terakhir, yang dengan kata lain: tidak (perlu) disentuh sama sekali. Poin 1, 2, dan 3 tidak pernah terlaksana, yaitu pemanfaatan energi terbarukan kita tidak pernah mencapai target, penggunaan minyak bumi masih terus meningkat – sementara pasokan dalam negeri terus menurun sehinga kita makin tergantung pada impor, dan cadangan-cadangan raksasa gas kita belasan-puluhan tahun tidak pernah dapat di-onstream-kan (Natuna D-Alpha, Masela, IDD Makassar Strait).
Panglima Tertinggi Energi
Agar energi dapat sungguh-sungguh menjadi modal dasar pembangunan, maka urgensi prioritas sektor ini harus naik tingkat. Perhatian khusus dari Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan harus diberikan; seolah negara sedang berperang melawan kejumudan situasi karena tidak kunjung terselesaikannya masalah-masalah energi Indonesia. Presiden harus jadi Panglima Tertinggi Energi.
Kenapa levelnya harus presiden sebagai panglima – dan bukan sekedar level menteri atau menko saja yang mengkomandani? Karena sepuluh – limabelas tahun terakhir ini: penyelesaian permasalahan energi indonesia hanya maju mundur saja dan parsial, dan seringkali menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru. Disharmoni regulatori yang menyebabkan – atau disebabkan – konflik antara beberapa lembaga pemerintahan juga terjadi. Itu semua diperparah dengan (seolah) acuhnya presiden terhadap permasalahan energi nasional, karena fokus Presiden 10 tahun terakhir kemarin ini adalah infrastruktur dan pembangunan kasat mata jangka pendek belaka.
Kalau di rejim pemerintahan sebelumnya, Jokowi dalam seminggu bahkan bisa 2-3 kali melakukan peninjauan ke proyek-proyek infrastruktur – makanya bolehlah Jokowi dijuluki sebagai Panglima Tertinggi Infrastruktur Indonesia – di rejim pemerintahan Prabowo ini mestinya presiden juga 2-3 kali dalam seminggu meninjau – memonitor proyek-proyek energi. Dalam frekuensi yang sama, Presiden harus sering-sering juga mengecek dan menuntut para pembantunya untuk segera menyelesaikan masalah-masalah energi yang sudah bertahun-tahun belakangan tidak kunjung selesai. Presiden sekarang khan sekaligus Panglima Tertinggi Energi Indonesia; maka sudah sewajarnya dia semakin serius membereskan urusan energi kita.
Kalau dulu setiap pagi mungkin Pak Jokowi bertanya ke Menteri PUPR – Pak Basuki – bagaimana progress / kemajuan pembangunana jalan tol ini, jembatan itu, fasilitas perbatasan yang di sini, dan pelabuhan-pelabuhan perintis di sana, maka sekarang ini perlu kiranya Pak Prabowo juga melakukan hal yang sama, tetapi ke Menteri ESDM kita. Setiap hari perlu ditanyakan: bagaimana kemajuan penyelesaian pembangunan kilang minyak di Balikpapan dan di Bontang, pembangunan pipa Cirebon Semarang tahap 2, pembangunan pipa Dumai-Seimangke, pemboran eksplorasi migas non-konvensional di Riau, eksekusi proyek-proyek nasional gas Natuna, gas Masela, dsb. Presiden sekarang ini adalah Panglima Tertinggi Energi Indonesia, maka wajar saja tiap hari beliau menanyakan ke Panglima lapangannya – Menteri ESDM – untuk terus menerus alert/waspada dan bersiaga mempercepat penyelesaian masalah-masalah energi kita.
Dewan Energi Nasional
Sebenarnyalah menurut regulasi, Presiden itu memegang kekuasaan tertinggi di bidang energi, karena Presiden adalah ketua Dewan Energi Nasional, yang tugasnya membuat Kebijakan Energi Nasional, menetapkan Rencana Umum Energi Nasional, menetapkan kondisi krisis dan darurat energi, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan energi lintas sektor (UU Energi 30/2007 dan Perpres 26/2008 tentang Dewan Energi Nasional). Jadi sudah semestinyalah berdasarkan regulasi: Presiden menjadi Panglima Tertingginya energi Indonesia. Hanya saja, dalam kiprah kelembagaannya, Dewan Energi Nasional (DEN) seringkali dianggap tidak bergigi, terutama di aspek pengawasannya. Apabila tugas / misi pengawasan ini berjalan dengan baik, maka kemungkinan besar masalah-masalah energi yang sepuluh – limabelas tahun terakhir tak kunjung terselesaikan menjadi beres ditangani pemerintah.
Ada delapan wakil masyarakat dan delapan menteri yang menjadi anggota DEN; dan Presiden menjadi Ketua yang minimal setahun sekali memimpin sidang paripurna. Di sidang tersebut Dewan Energi Nasional membahas dan menyelesaikan masalah-masalah keenergian Indonesia dan memutuskan keputusan-keputusan eksekutif penting terkait dengan implementasi kebijakan energi nasional. Dalam sejarah sejak terbentuknya Dewan Energi Nasional 2009 sampai saat ini, DEN tidak pernah melakukan Sidang Paripurna lebih dari sekali setahun. Hal ini mengindikasikan kekurang-seriusan pemerintah / presiden-presiden sebelumnya (SBY dan Jokowi) dalam menangani masalah-masalah keenergian kita.
Bagaimana dengan rapat-rapat koordinasi kabinet tentang Energi yang selama belasan tahun terakhir ini dilakukan oleh presiden-presiden kita? Apakah itu tidak cukup? Tidak! Buktinya: sepuluh masalah keenergian kita yang diuraikan di atas masih juga tidak kunjung terselesaikan dan prioritas pembangunan energi kita gagal di tiga prioritas pertamanya. Kekurang-ampuhan rakor-rakor kabinet tersebut disinyalir salah satu penyebabnya adalah karena tidak adanya wakil masyarakat yang independen – seperti delapan anggota wakil masyarakat yang ada di DEN – yang ikut memberikan sumbangsih pemikiran menyuarakan aspirasi masyarakat kita. Dalam rakor-rakor kabinet itu seolah-olah pemerintah berbicara dengan dirinya sendiri.
Untuk merealisasikan gerak Presiden sebagai Panglima Tertinggi Energi Indonesia itu, selain tergantung dari kesadaran kepemimpinan Pak Prabowo untuk menerapkannya, juga salah satu kondisi pelengkapnya adalah pemberdayaan Dewan Energi Nasional. Mekanisme Rapat Anggota, Sidang Anggota, dan Sidang Paripurna di Dewan Energi Nasional musti lebih dikuatkan dan ditajamkan. Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional yang dipimpin oleh Presiden sudah seharusnya dilaksanakan lebih sering, minimal sebulan sekali (bukan setahun sekali seperti yang selama ini terjadi), untuk supaya ketahanan energi lebih dapat ditingkatkan, dan kedaulatan serta kemandirian energi Indonesia dapat segera diraih.
Energi Indonesia Emas 2045
Hari ini kita semua memiliki pekerjaan rumah besar untuk kepentingan anak-cucu kita di tahun 2045. Ini bukan semata urusan selebrasi janji Indonesia Emas, yang urusan pemenuhan kebutuhan energinya jadi kompleks karena kita juga berjanji untuk NZE (net zero emission) pada 2060; namun juga karena ada generasi Indonesia, yang digadang-gadang sebagai bonus demografi di 2030-an, yang harus kita pikirkan nasibnya.
Bagaimana anak-anak muda yang berpendidikan maupun yang trampil kita persiapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai terutama di bidang energi, adalah salah satu pekerjaan rumah itu. Selain itu, bagaimana daerah-daerah terluar dan terdepan mendapat akses energi yang adil dan merata, bagaimana potensi ekonomi energi kita dapat dikembangkan oleh para pengusaha dalam negeri untuk multiplier effek kemakmuran bangsa juga menjadi tantangan bersama.
Pada ujung ekstrimnya pekerjaan rumah kita adalah memastikan supaya Indonesia tetap ada di muka bumi ini di tahun 2030 dan sesudahnya – sehingga prediksi oleh salah satu futurolog yang juga dicuplik oleh Prabowo beberapa tahun yang lalu bahwa Indonesia akan bubar di tahun 2030, tidak terjadi. Untuk itu semua, Indonesia memerlukan lebih dari sekedar seorang Presiden, tetapi Presiden yang juga adalah Panglima Tertinggi Energi Indonesia.
*Anggota Dewan Energi Nasional 2014 – 2017