Jakarta, TopBusiness – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, instruksi Presiden Prabowo Subianto tentang perluasan kebun sawit dengan pembukaan lahan baru demi ambisi bioenergi sangat berisiko.
Hal itu akan dijadikan pembenaran dari negara importir untuk tambah berbagai hambatan dagang baik tarif maupun nontariff sawit Indonesia.
Instruksi presiden itu membuat pemerintah seolah mendukung perluasan kebun sawit meski ada risiko deforestasi.
“Saya kira itu blunder sekali. Apalagi era perang dagang, sawit Indonesia rentan jadi sasaran proteksionisme negara maju. Justru dengan adanya EUDR yang harus dipastikan itu kebun sawit nya tidak bertambah luas tapi tambah produktif. Jika masalah pak Prabowo ini soal produksi sawit, maka jawabannya bukan dengan perluasan kebun sawit baru atau ekstensifikasi lahan,” kata Bhima dalam keterangan tertulis Senin (13/1/2025).
Masalahnya selama ini adalah produktivitas per lahan sawit yang rendah. Sawit di Indonesia secara rata rata hanya hasilkan 12,8 ton per hektar untuk tandan buah segar. Sementara di Malaysia bisa mencapai 19 ton per hetare tandan buah segar.
Karena itu, kata Bhima, solusinya adalah intensifikasi lahan, masalah teknologi pertanianya, pembibitan, sampai pupuk.
Berdasarkan perhitungan Celios, moratorium perluasan kebun sawit punya banyak manfaat. “Dampak implementasi kebijakan moratorium sawit ditambah skema replanting dinilai mampu menciptakan kontribusi ekonomi pada tahun 2045 yakni output ekonomi bertambah Rp 28,9 triliun, PDB Rp 28,2 triliun, pendapatan masyarakat naik Rp 28 triliun, surplus usaha Rp 16,6 triliun, penerimaan pajak bersih Rp 165 miliar, ekspor Rp 782 miliar, pendapatan tenaga kerja Rp 13,5 triliun, dan penyerapan tenaga kerja 761 ribu orang. Hasilnya jauh lebih positif dibanding skenario pembukaan kawasan hutan besar-besaran,” tutup Bhima.
Sebelumnya, Kementerian Kehutanan RI mengklaim ada potensi 20,6 juta hektar lahan hutan yang dapat digunakan.
Sumber lahan tersebut adalah hutan lindung dan hutan produksi. Wacana hutan cadangan pangan dan energi tersebut disampaikan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni usai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta akhir tahun lalu.
“Ini hanya men-support terhadap apa yang dikerjakan Menteri Pertanian dan Menteri ESDM, yaitu dengan konsep hutan cadangan pangan dan energi. Kami telah mengidentifikasi dengan Menteri Pertanian, ada sekitar 20 juta hektar yang dapat digunakan,” ungkap Raja Juli.
Raja Juli Antoni juga mengatakan bahwa seluruh lahan hutan cadangan pangan dan energi adalah bagian dari proyek lumbung pangan/food estate.
Lokasinya tersebar di seluruh provinsi, bahkan di tingkat desa. “Ada di seluruh provinsi, jadi itu akan menjadi lumbung pangan kecil. Tidak hanya food estate yang besar, namun bahkan bisa di desa. Ini menjadi bagian dari program swasembada pangan.” kata Raja Juli.
Tujuan untuk memperluas program lumbung pangan/food estate perlu dipertanyakan. Pasalnya, jutaan hektar hutan yang telah dibabat sejak tahun 1995, terbukti gagal dan malah menimbulkan kehancuran ekosistem hutan dan lahan gambut.
Bahkan, hasil kajian Pantau Gambut tahun 2024 bertajuk “Swanelangsa Pangan di Lumbung Nasional” menyebutkan bahwa ribuan hektar lahan bekas food estate dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Dosen di Departemen Antropologi UI, Suraya Afif mengatakan bahwa ada ketidakjelasan informasi yang disampaikan oleh pemerintah terkait proyek-proyek besar yang akan dilakukan selama ini.
“Masalah terbesarnya adalah pemerintah tidak pernah jelas, apakah pembangunan yang dilakukan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat. Kita ketahui bersama proyek food estate selama ini malah diberikan seluruh aksesnya terhadap tentara dan perusahaan-perusahaan swasta, sementara rakyat malah terusir,” ungkap Suraya.