Jakarta, TopBusiness – Sejumlah Organisasi Masyarakat dan kelembagaan petani, diantaranya Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch, dan IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) mengapresiasi dan mendukung Kebijakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia yang telah menetapkan kenaikan kewajiban alokasi fasilitasi pembangunan kebun masyarakat menjadi 30% dari semula 20% kepada pemegang Hak Guna Usaha (HGU) dan akan mengaudit pelaksanaan kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Hal ini merupakan bentuk keberpihakan Negara untuk menjalankan reforma agraria di perkebunan sawit lewat.
Ketiga organisasi/lembaga tersebut selama ini telah melakukan uji materi UU Perkebunan, penyelenggaraan konferensi perkebunan dan menyusun pedoman kemitraan usaha perkebunan dan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat
sekitar.
Sabarudin, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit mengatakan peningkatan alokasi plasma untuk masyarakat sekitar konsesi perkebunan skala besar merupakan langkah yang penting di tengah permasalahan agraria masyarakat pedesaan yang mengalami ketimpangan dalam penguasaan dan kepemilikan atas tanah.
“Alokasi plasma seluas 20% yang diterapkan di perkebunan sawit selama ini kerap kali bermasalah baik dari segi luasan yang tidak mencapai besaran tersebut, juga karena rendahnya realisasi masyarakat penerima alokasi plasma di desa”, kata Sabarudin.
Sabarudin juga menekankan agar kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh Kementerian ATR/BPN, seharusnya menjadi payung hukum pelaksanaan alokasi plasma di semua sektor termasuk perkebunan sawit. Karena kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat merupakan bagian dari kebijakan percepatan reforma agraria untuk memastikan alokasi hak atas tanah kepada rakyat.
Sayangnya, penerapan selama ini masih menimbulkan polemik, karena regulasi yang mengatur fasilitasi pembangunan kebun masyarakat masih diatur secara sektoral di Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan. Sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam penerapannya di lapangan. Dalam pandangan kami, alokasi plasma seharusnya menjadi kewenangan Kementerian di bidang Pertanahan.
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch menambahkan bahwa, pengaturan yang berbeda mengenai alokasi plasma diantara Kementerian terkait menimbulkan ketidakpastian hukum pelaksanaan alokasi plasma yang berdampak pada rendahnya capaian realisasi alokasi kebun plasma kepada masyarakat di desa, minimnya pengawasan, serta penyelesaian konflik yang tidak kunjung berakhir di perkebunan sawit saat ini.
Bahkan menurut Achmad Surambo, esensi dari kebijakan alokasi plasma sebagai pemberian hak atas tanah kepada rakyat dalam implementasinya berdasarkan regulasi di Kementerian Pertanian direduksi semata-mata hanya bentuk kemitraan usaha perkebunan yang berbasis pengolahan lahan yang bersumber dari rakyat atau pilihan lainnya berupa kemitraan usaha produktif, yang mana hal ini bertentangan dengan ketentuan di dalam kebijakan percepatan reforma agraria dan regulasi tata cara penerbitan Hak Guna Usaha kepada pelaku usaha yang menekankan alokasi hak atas tanah sebagai bagian dari pelaksanaan Reforma Agraria di sektor perkebunan sawit.
Achmad Surambo mengatakan bahwa kerancuan ini menimbulkan permasalahan baru, karena sejumlah Perusahaan mendalilkan masalah ketidaktersediaan lahan sebagai alasan untuk tidak mematuhi alokasi plasma serta permasalahan penyitaan lahan sawit dalam Kawasan hutan oleh Pemerintah sebagai tantangan untuk mengalokasikan lahan plasma. Sejumlah tantangan ini memerlukan solusi, baik dalam ranah kebijakan agar adanya kepastian hukum, pengawasan oleh otoritas yang berwenang maupun inisiasi Pemerintah untuk melakukan audit kepatuhan hukum pelaku usaha yang memiliki kewajiban untuk mengalokasikan plasma kepada rakyat. Hal tersebut diperlukan untuk memperbaiki tata kelola di sektor perkebunan sawit serta menyelesaikan konflik yang terjadi di sejumlah daerah.
Gunawan, Penasehat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) mengatakan bahwa tuntutan masyarakat terhadap realisasi fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar di sejumlah daerah terus terjadi, menunjukkan bahwa permasalahan ini penting menjadi perhatian Kementerian ATR/BPN.
Menjadi momentum bagi Kementerian ATR/BPN untuk melakukan audit pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan dan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Hal ini didasarkan pada putusan MK dalam perkara pengujian UU Perkebunan yang menyatakan bahwa perusahaan perkebunan harus memiliki hak atas tanah dan izin usaha, menjadikan bahwa mengukur alokasi fasilitasi pembangunan kebun masyarakat bersandar pada luasan hak atas tanah yang diperoleh perusahaan perkebunan, hal ini selaras dengan Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.