Jakarta, BusinessNews Indonesia – Ekonom senior Indef dan Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini menyebut selama ini pemerintah terkesan terus membiarkan masalah akut perekonomian Indonesia, yakni defisit.
Selama ini, pemerintah tak mampu perbaiki dan tak ada kebijakan sistematis untuk mengatasinya, yakni defisit neraca berjalan. Inilah sesungguhnya penyakit struktural yang tidak diatasi dan tidak pernah dicoba untuk dikurangi “magnitute” defisitnya.
“Pemerintah hanya membiarkan saja penyakit struktural ini terus berjalan sembari melakukan make up dengan menyatakan bahwa pengelolaan makro ekonomi dilakukan secara sangat berhati-hati dan pruden,” kecam Didik di Jakarta, Senin (17/9/2018).
Padahal defisit neraca berjalan tahun lalu mencapai tidak kurang US$ 17,3 miliar dan tahun depan diperkirakan lebih dari US$ 24 miliar, jika kebijakan ekonomi dilakukan secara enteng seperti sekarang (as usual).
Selain itu, lanjut Didik, defisit perdagangan juga semakin parah yang mencapai US$ 3 miliar. Ini juga menjadi penyakit struktural yang seharusnya jangan dianggap enteng dengan mengatakan kebijakan makro ekonomi sudah dijalankan secara berhati-hati dan pruden.
“Selama indikator makro tersebut memburuk, maka seribu kata pruden dan berhatai-hati tak akan punya makna karena ekonomi akan terus memburuk. Tetapi karena hebatnya penguasaan media dan media sosial, maka kebijakan yang ada dinilai berhati-hati dan prudent,” ujarnya.
Lebih jauh dia menegaskan, sektor pemerintah juga mengalami masalah yang sama, yakni defisit primer anggaran APBN. Dengan defisit ini kondisi APBN untuk membiayai pengeluarannya sendiri saja tidak cukup, apalagi untuk membayar utang.
Dengan demikian, pemerintah hanya mencari utang untuk tidak hanya menutup utang itu sendiri, tetapi juga menutup defisit dirinya sendiri. Dampaknya utang yang harus dibayar bunga dan pokoknya semakin besar dari tahun ke tahun.
“Pembayaran bunga tidak bisa dihindari, tetapi pembayaran pokok diurai ke depan dan ditunda pembayarannya sehingga akan menjadi beban pada pemerintahan selanjutnya,” kata Didik.
Dan parahnya lagi, sebut dia, Presiden Joko Widodo sendiri terlihat belum menyadari bahwa ekonomi sakit. Mungkin karena para menteri sodorkan data yang dipoles atau dilihat dari sisi khusus, sehingga ekonomi tidak kelihatan sakit.
“Tapi jika dilihat dari kondisi tersebut, maka Indonesia sebenarnya tengah mengalami penyakit kritis ganda empat bidang, yakni: defisit neraca jasa, defisit neraca berjalan, defisit neraca perdagangan, dan sekaligus defisit primer APBN,” tandas dia.
Indikator kritis tersebut sebagai tanda ekonomi Indonesia bisa dan bukan tak mungkin masuk ke dalam jurang krisis. Maknya jangan bermain dan bohong dengan statistik sebab itu buruk untuk mencari solusi kebijakan yang sesungguhnya.
“Lebih baik kita mengatakan sakit sehingga kita bisa mencari obatnya daripada mengatakan tidak sakit padahal sakit, sehingga lupa mancari obatnya,” kritik dia.