Jakarta, TopBusiness – Di tengah perekonomian global yang akhir-akhir ini sedang berada dalam ketidakpastian dirasa bakal memengaruhi penerimaan perpajakan yang ditargetkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
Kondisi global seperti perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat, rencana The Fed untuk menaikkan suku bunga, serta instabilitas politik di Timur Tengah dan Eropa akan sangat dicermati oleh pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Sementara dalam asumsi makro Rancangan APBN 2019, di tengah ketidakpastian tersebut, pemerintah sedang mengajukan rencana pendapatan APBN yang besarnya mencapai Rp2.142 triliun rupiah.
“Adapun secara spesifik target penerimaan pajak yang ingin dikejar sebesar Rp 1.781 triliun atau naik 15 persen dari outlook 2018 ini,” tandas ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, di Jakarta, Rabu (10/10/2018).
Namun masalahnya, kata dia, rasio pajak (tax ratio) dalam beberapa tahun terus mengalami penurunan, terakhir berada di bawah 9 persen.
Makanya, lanjut dia, untuk mencapai penerimaan pajak yang tinggi itu, tak hanya melakukan reformasi perpajakan yang beberapa kali dilakukan perubahan signifikan di bidang administrasi.
“Tapi yang dibutuhkan saat ini adalah reformasi kebijakan perpajakan yang lebih bersifat menciptakan sumber-sumber penerimaan perpajakan baru,” tandas Bhima.
Dia menambahkan, sumber-sumber penerimaan baru tersebut dapat berupa pungutan cukai di barang-barang yang dirasa perlu dikendalikan konsumsinya seperti cukai plastik, cukai minuman manis, dan barang lainnya.
“Kebijakan perluasan basis pajak lainnya yang masih bisa dikembangkan adalah perpajakan di bidang ekonomi digital di mana potensi perpajakannya masih sangat besar,” jelas Bhima.
Selain strategi perluasan basis perpajakan, kata dia, tentunya perbaikan dalam sistem perpajakan yang sekarang juga perlu dikembangkan.
“Pajak pendapatan perusahaan, pajak pendapatan pribadi, dan pajak pertambahan nilai (PPN) dinilai perlu dilakukan reformasi yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian terkini,” katanya.
Di tempat yang sama, Direktur International Tax and Investment Center, Daniel Witt menambahkan reformasi perpajakan yang akan dilakukan diharapkan sesuai dengan perkembangan perpajakan global seperti pemberlakuan Automatic Exchange of Information (AEoI).
“Serta sesuai dengan strategi beberapa negara untuk menghindari perilaku menyimpang seperti Base Erosion/Profit Shifting (BEPS),” kata dia.
Reformasi perpajakan yang dituangkan dalam revisi undang-undang ketentuan umum perpajakan (KUP) harus bisa mengakomodasi kedua isu perpajakan global tersebut. Sehingga akan lebih mudah untuk pembuatan peraturan turunannya.
Kondisi reformasi perpajakan tersebut, lanjutnya, akan lebih kuat jika ada masukan dari masyarakat ataupun pengamat perpajakan untuk membuat reformasi perpajakan yang lebih mencerminkan keadaan
ekonomi terkini.
“Dan sesuai dengan prinsip perpajakan yang berkeadilan, kepastian, kenyamanan, dan ekonomis,” ungkap Witt.
Penulis: Tomy