Surabaya, TopBussines – Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) hari ini (16/2/2019) menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Auditorium Gedung Research Center Lt.11 Jl. Teknik Kimia, Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya.
Acara diskusi ini mengambil tema “Memaksimalkan Potensi Migas Nasional Dalam Rangka Membangun Kemandirian Energi”.
Menurut Ketua Panitia FGD Dwi Satriyo, kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan untuk mengetahui tentang situasi di sektor hulu migas, baik mengenai tantangan maupun peluang ke depan.
“Selanjutnya ini bisa digunakan oleh pemangku kepentingan di sektor migas, khususnya Badan Pelaksana Migas untuk menemukan terobosan-terobosan baru agar bisa lebih efektif dan efisien dalam rangka untuk mewujudkan Kemandirian Energi,” ujar Dwi Satriyo dalam publikasinya yang diterima redaksi, Sabtu (16/2/2019).
Dwi juga menjelaskan soal latar belakang digelarnya event tersebut. Sebagaimana data harga minyak yang telah dilaporkan bahwa akibat dari adanya ketidak seimbangan antara permintaan dan produksi minyak, sejak tahun 2014 harga minyak rata rata dunia telah mengalami penurunan yang cukup tajam dari USD 90-100 per barrel menjadi saat ini berkisar di harga USD 53 (WTI) dan USD 62 (Brent) per barrel.
“Demikian pula dengan harga gas yang juga terus menurun akibat kelebihan produksi akibat dari adanya tambahan produksi dari US shale-gas, dari USD 4,8 menjadi USD 2,6 per MMBTU. Penurunan harga minyak dan gas dunia ini tentu berpengaruh terhadap iklim investasi di sektor migas di seluruh dunia, termasuk Indonesia,” papar dia.
Sementara itu, hampir 90% lapangan-lapangan migas di Indonesia yang telah diproduksi bisa dikatakan telah berusia tua (mature-field), dan cadangan-cadangan yang tersisa yang belum dieksplorasi berada di daerah yang sulit dan laut dalam.
Guna memenuhi kebutuhan migas nasional yang terus meningkat, kata Dwi, diperlukan peningkatan produksi migas nasional melalui kegiatan menaikkan produksi baik di lapangan lapangan tua maupun
meningkatkan kegiatan eksplorasi di laut dalam yang memerlukan teknologi canggih, investasi yang tinggi dan beresiko tinggi pula.
“Untuk itu diperlukan suatu terobosan-terobosan baru agar bisa menarik minat investor, produksi migas nasional meningkat dan cost recovery menjadi lebih efisien,” tutur Dwi dalam publikasinya. (nrd)