Menarik kita cermati bahwa saat ini pembangunan infrastruktur di era Presiden Joko Widodo begitu pesat. Namun tentunya konteks perubahan iklim dalam tiap aktivitas pembangunan menjadi sangat penting diperhatikan. Banjir, tanah longsor dan juga tsunami yang terjadi dalam dua tahun terakhir memberikan pembelajaran bahwa meniadakan isu perubahan iklim dalam pembangunan nasional dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar di masa depan.
Penulis: Indrawan Susanto
(Pegawai Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan)
Saat ini, kita tengah menghadapi berbagai permasalahan lingkungan yang kompleks, mulai dari krisis iklim, pemanasan global, pencemaran akibat plastik, hingga kerusakan ekosistem. Diskursus publik belakangan mulai menaruh perhatian terhadap isu lingkungan yang semakin hangat dipicu dengan peraturan pemerintah yang erat kaitannya dengan isu lingkungan seperti misalnya pembebanan cukai terhadap kantong plastik kemasan. Bentuk perhatian masyarakat terhadap isu lingkungan beberapa diantaranya diwujudkan dengan munculnya gerakan anti sedotan plastik dan diet kantong plastik. Ada juga gerakan masyarakat Pangandaran bersama Tanggap Bencana (Tagana) Kabupaten Pangandaran dengan membersihkan sungai Citonjong sebagai bentuk upaya mitigasi menghadapi musim penghujan, aksi tersebut merupakan salah satu kegiatan rutin mereka. Kemudian ada juga aksi bersih pantai khususnya membersihkan sampah plastik disepanjang garis pantai yang menjadi agenda rutin tahunan oleh ribuan warga Trenggalek di sejumlah pantai yang ada di Kecamatan Watulimo Trenggalek, dan aksi-aksi peduli lingkungan lainnya.
Salah satu dampak perubahan iklim yang terjadi di kuartal pertama tahun 2020 di sejumlah daerah di Indonesia adalah banjir dan bahkan bencana tanah longsor, yang tidak hanya merenggut harta dan benda tapi juga nyawa. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam sebuah studinya baru-baru ini memperkirakan hingga bulan April 2020 sebanyak 48 persen daerah di Indonesia masih akan mengalami curah hujan tinggi yaitu lebih dari 300 mm/bulan. Selain itu, analisis statistik hujan ekstrem oleh BMKG yang diambil dari data selama 150 tahun, menunjukkan peningkatan 2-3 persen dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu. Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang terjadi, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini.
Upaya Pemerintah
Pemerintah telah melakukan upaya maksimal untuk menghadapi krisis iklim yang terjadi satu hingga dua tahun belakangan ini, khususnya dari segi pembiayaan atas perubahan iklim di Indonesia. Berdasarkan penandaan anggaran perubahan iklim (climate budget tagging/CBT) yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, tercatat adanya peningkatan dukungan APBN dalam empat tahun terakhir dengan menganggarkan pendanaan terhadap aksi pengendalian perubahan iklim melalui CBT yaitu sebesar Rp72,4 triliun dalam APBNP 2016, Rp95,6 triliun dalam APBNP 2017, Rp109,7 triliun dalam APBN 2018, dan Rp100,4 triliun dalam APBN 2019 atau sekitar 3,6 persen (2016), 4,7 persen (2017), 4,9 persen (2018), dan 4,1 persen (2019).
Selain CBT, pemerintah juga berupaya menghimpun pendanaan internasional, khususnya melalui Green Climate Fund (GCF). Salah satu unit strategis di Kementerian Keuangan yaitu Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang diamanatkan sebagai National Designated Authority (NDA) telah berhasil membawa dua proyek yang mendapat persetujuan para pimpinan GCF. Kedua proyek tersebut adalah Indonesia Geothermal Resource Risk Mitigation Project oleh World Bank dan Program Climate investor One (CIO). Pemerintah juga telah menerbitkan Green Bonds yang dipadukan dengan pengembangan instrumen kreatif Green Sukuk. Green Bonds dan Green Sukuk merupakan sebuah inisiatif pemerintah yang sejalan dengan tujuan Indonesia mencapai target SDG khususnya SDG 13 mengenai climate action. Pada bulan Februari 2019 telah diterbitkan Green Sukuk sebesar USD 750 juta, hal tersebut merupakan sebuah upaya dan aksi nyata pemerintah dalam memaksimalkan pembiayaan perubahan iklim di Indonesia.
Tantangan perubahan iklim cukup berat dan perlu ditindaklanjuti bersama, tidak hanya pemerintah pusat, namun juga dibutuhkan peran pemerintah daerah serta seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah perlu mendorong penguatan implementasi CBT di tingkat daerah dengan mengembangkan pilot project Regional CBT (RCBT). Untuk mendukung hal tersebut tentunya diharapkan alokasi APBN 2020 melalui CBT perlu ditingkatkan dari tahun anggaran sebelumnya. Selain itu, bergabungnya Indonesia dalam beberapa forum internasional seperti misalnya ASEAN, APEC dan G20, merupakan kesempatan besar untuk terus meningkatkan kolaborasi dan koordinasi serta dukungan antar negara dalam upaya mengendalikan dampak perubahan iklim.
*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi