Jakarta, TopBusiness – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan aset keuangan syariah sepanjang 2020 mencapai US$ 125,31 miliar atau sebesar Rp 1.770,32 triliun. Hal ini mengindikasikan perkembangan jasa keuangan syariah di Indonesia lebih baik ketimbang jasa keuangan konvensional.
“Asetnya (per November 2020) tumbuh cukup tinggi yakni sebesar 21,48 persen di mana sebelumnya hanya 13,84 persen di 2019 dan juga nominal asetnya itu mencapai Rp1.770,32 triliun,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam Webinar Outlook Ekonomi Syariah Indonesia 2021, Selasa (19/1/2021).
Total aset keuangan syariah itu terdiri dari industri perbankan syariah yang mencapai USD42 miliar atau setara Rp593,35 triliun dengan market share sebesar 6,43 persen. Kemudian Industri Keuangan Non Bank (IKNB) syariah sebesar USD8,01 miliar atau Rp113,16 triliun dengan market share 4,40 persen.
Lalu terakhir ada industri pasar modal syariah dengan raihan aset sebanyak USD75,30 miliar atau setara Rp1.063,81 triliun dengan market share mencapai 17,50 persen.
Sedangkan per Desember 2020, pembiayaan Bank Umum Syariah (BUS) mencatatkan pertumbuhan sebesar 9,5 persen. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang pertumbuhan kredit perbankan secara keseluruhan di 2020 yang terkontraksi sebesar minus 2,41 persen.
Profil risiko keuangan syariah juga mempunyai ketahanan yang cukup baik dengan tingkat rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) sebesar 21,59 persen, tingkat kredit bermasalah atau non performing financing (NPF) gross 3,13 persen, serta likuiditas atau financing to deposit ratio (FDR) yang terjaga pada tingkat 76,36 persen.
Tak hanya itu, lanjut Wimboh, keuangan syariah Indonesia pada Refinitiv Islamic Finance Development Report 2020 mampu duduk di peringkat kedua sebagai Negara Paling Maju dalam Keuangan Islam (Most Developed Countries in Islamic Finance). Sementara dalam laporan Global Islamic Economy Indicator (GIEI) 2020/2021, Indonesia juga mampu menempati urutan keempat dunia untuk sektor