Jakarta, TopBusiness – Bagi Esther Roseline, milenial brillian dengan usia 24 tahun ini, sangat terpanggil dalam jiwa serta darah untuk dapat berbuat sesuatu memberatas sebuah penyakit masyarakat amoral (moral hazard) dalam bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Dengan kerisauan Esther, milenial itu tidak tanggung-tanggung dalam memberantas korupsi di negeri ini.Esther pun mengungkap fakta serta memberikan solusi agar bisa menekan ruang gerak korupsi yang sudah mengakar dan membumi. Oleh sebab itu, penulis milenial ini menulis buku bersama mantan Korps Bayangkari, Bibit Samad Rianto
Kedua penulis buku tersebut mengungkapkan Koruptor go to hell: gurita korupsi di Indonesia sudah menjadi momok sangat menyedihkan sekali. Sebagai dua tokoh pengiat antikorupsi sangat serius sekali agar dapat bisa memberantas korupsi yang sudah mengakar dan membumi hingga saat ini di negeri tercinta yang memiliki perangkat Undang-undang dan berbagai peraturan sudah sangatlah baik, akan tetapi implementasi, penerapannya masih dirasakan sangat lemah sekali.
Korupsi adalah sebuah tindakan melawan hukum, perbuatan amoral (moral hazard), musuh masyarakat. Korupsi bisa pula merusak berbagai tatanan di masyarakat. Dan tidak ada satu pun agama di muka bumi yang bisa mentelorir perbuatan para koruptor.
Perbuatan koruptor ini dapat menumpulkan dan memberangus daya saing bangsa di kawasan global dan internasional. Secara ekonomi, perbuatan korupsi menjadikan eknomi berbiaya tinggi karena terjadi suap dan uang pelicin di sana-sini hampir diseluruh berbagai urusan.
Sudah mengguritanya kaki tangan korupsi dari atas hingga bawah. Dari pusat hingga ke daerah-daerah. Begitulah gambaran korupsi dimata Esther sang Milenial ini. Korupsi sudah menjadi pemandangan umum dan lumrah di negeri ini, walaupun perangkat Undang-Undang dan peraturan sudah sangat gamblang mengatur tentang korupsi, akan tetapi para koruptor tetap melakukan perlawanan hukum dan tidak merasa malu melakukan tindakan amoral tersebut.
Esther mengambarkan sangat gambang “Gurita Korupsi “ tersebut mulai dari aktor paling bawah hingga aktor paling atas dengan biasa disebut penjahat berkerah putih (white collar crime). Para aktor korupsi ini sudah sangat jelas dan terang-terangan melakukan aktivitasnya. Selama ini, untuk mengurus berbagai perizinan lebih besar biaya silumannya alias uang jago. Uang suapnya dibanding anggaran yang sesungguhnya ditetapkan negara atau biaya yang masuk ke kas negara.
Seperti contohnya kita urus izin biaya resminya hanya Rp 150 ribu, akan tetapi dengan sudah membuminya para koruptor tersebut biaya jadi menggelembung menjadi 2-4 kali lipat, sungguh sangat fantastis para aktor tersebut menjadi pemain yang cantik secara berjamaah tanpa sulit diberantas para aparat penegak hukum.
Aksi kejahatan korupsi di Indonesia ini dengan kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) setiap tahunnya semakin meninngkat. Hal tersebut dapat kita lihat data kasus Tipikor yang ditangani lembaga anti rusuah Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Pada tahun 2016 angka tersangka sebanyak 1.100 kasus dan di tahun 2017 jumlah kasus meningkat sangat tajam sebanyak 1.298 kasus dan di tahun 2018 ada penurunan kasus sebesar 1.087 dengan rata-rata mengalami kerugian negara miliaran rupiah.
Bagi Esther Roseline, praktisi hukum alumnus Pelita Harapan 2017 lalu dengan menyandang predikat Magna Cum Laude ini, lantas dilanjutkan pendidikan bidang korupsi sebagai Certified Fraud Examiner, sebuah pendidikan bergengsi di bidang fraud yang berbasis di Amerika Serikat. Tidak berhenti sampai di situ, Esther kembali memperlengkapi dirinya dan meraih Professional Certificate in Data Science dari Harvard University (HarvardX).
Tentunya Esther untuk meningkatkan kemampuan serta kualitas sebagai praktisi yang berfokus pada korupsi ini. Tentunya ini sudah menjadi keseriusan Milenial ini sebagai expert bidang korupsi.
Dengan kemampuan milenial ini sebagai praktisi hukum korupsi. Esther pun pernah bekerja menjadi seorang Fraud Expert & Analyst untuk perusahaan asing, Finders Resources, Ltd, dimana Esther bekerja bersama dengan detektif senior Australia dalam mendeteksi, memecahkan dan mencegah kasus Fraud, kemudian mengawasi serta membangun sistem Anti- Fraud.
Dengan kemampuan serta penguasaannya tentang korupsi yang sangat mumpuni ini. Milenial Esther pun sudah menjadi penasehat hukum di berbagai lembaga internasional, seperti kedutaan Inggris, Esther dipercaya sebagai konsultan hukum dalam bidang anti korupsi.
Aktivitas Milenial Esther di internasional, tentunya sudah tidak diragukan lagi. Berbagai kegitaan workshop, seminar pada bidang antikorupsi serta hukum bisnis sudah tidak bisa dihitung dengan jari.
Di mata Milenial Esther, sang praktisi hukum, konsultan hukum, dan pengiat anti korupsi di negeri tercinta ini, untuk memutus mata rantai gurita korupsi ini harus dibangun beberapa langkah yang terus menerus mulai dari masyarakat paling bawah hingga paling atas dan juga memberikan pendidikan hukum secara keseluruhan tidak hanya sebatas anti korupsi saja. Pendidikan ini harus dibangun dari sejak usia dini mulai dari kelompok masyarakat terkecil yaitu keluarga.
Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Top Business melalui saluran telekonfren beberapa lalu. Esther menegaskan bahwa kita harus membangun tatanan hukum yang baik kedepanya yang tentunya terkait dengan antikorupsi ini.
Menurut Esther, kita harus budayakan, bangun budaya hukum secara masif pengawasan secara ketat terhadap perilaku, tindak tanduk serta kegiatan para pelaku kejahatan koruptor ini langsung berbasiskan kepada masyarakat. “Jadi ujung tombaknya tetaplah kepada seluruh keterlibatan masyarakat luas. Karena aparat penegak hukum tentunya tidak bisa memantau secara penuh dengan begitu luasnya nusantara ini,” ungkapnya.
Selain, kita harus bangun Whitleblower sebagai ujung tombak pemutus mata rantai guritanya korupsi ini. Tentunya perlindungan hukum bagi sang pelapor serta kerahasiaan sang pelapor ini sebagai Whitleblower ini harus mendapatkan perlindungan hukum secara penuh. Baik itu perlindungan bagi sang pelapor sendiri maupun keluarganya.
Lantas lanjut Esther menytakan, kita harus bangun sistem dengan baik, terkait dengan sistem ini banyak sekali pihak terlibat di sini. Mulai dari para penegak hukum. Mulai penyidikan dari kepolisisn, kejaksaann, hingga ke penyelidikan. Para pihak-pihak ini harus profesional di bidang masing-masing sesuai kompetensi. Serta juga harus independen dalam melakukan berbagai tugas tersebut.
Ke depannya pihak penegak hukum ini harus bisa membangun data yang akurat terkait dalam kasus–kasus Tipikor tersebut. Akuntabilitas, akurasi serta juga check and balance pun harus pula dilakukan secara transparan. Tentunya kekuatan data yang akurat serta valid menjadikan sebuah prestasi yang cepat, tepat dan efektif sekali dalam mengungkap sebuah kasus Tipikor.
Bagi Esther, Milenial, praktisi hukum, pengiat anti korupsi membangun system, budaya hukum dari masyarakat serta meningkatkan independensi, akuntabilitas data yang valid serta check and balance akan bisa memotong gurita korupsi ini.
“Korupsi sudah melekat sangat dalam serta membumi di negeri tercinta ini. Oleh sebab itu kita harus bangun sistem secara massif dengan seluruh komponen bangsa. Kita harus bangun kesadaran hukum bersama-sama untuk bisa melawan korupsi ini. Korupsi ini telah mencabik-cabik tatanan di seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menumpulkan bangsa ini. Kita harus bangun kesadaran bersama melawan korupsi ini”, tegas Esther milenial dan praktisi hukum yang tiada hentinya membangun kesadaran hukum bagi kaum milenial di negeri ini.