Jakarta, TopBusiness – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memperkirakan Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate untuk periode Oktober 2021 di level 3,50 persen. Sebab, dukungan pemulihan ekonomi masih diperlukan guna menjaga stabilitas rupiah.
“Kami melihat BI harus terus mempertahankan suku bunga kebijakannya di 3,50 persen untuk menjaga stabilitas rupiah dan tidak mengganggu potensi berlanjutnya momentum pemulihan ekonomi,” kata Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky dalam rilis Analisis Makroekonomi, Selasa (19/10/2021).
Riefky menilai upaya bank sentral menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan momentum pemulihan ekonomi domestik seiring dengan situasi eksternal yang agak bergejolak akibat krisis energi yang terjadi di Tiongkok, India, dan Eropa, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam pemulihan ekonomi global.
Alasan LPEM FEB UI terhadap perkiraan langkah BI yang kembali mempertahankan suku bunga acuan karena laju inflasi tahunan September tercatat sebesar 1,60 persen (yoy), relatif tidak berubah dari sebelumnya sebesar 1,59 persen (yoy) pada Agustus dan masih di bawah kisaran target BI.
Secara bulanan, inflasi umum mencatat deflasi sebesar minus 0,04 persen (mtm), turun dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,03 persen (mtm), namun hampir setara dengan deflasi bulanan sebesar minus 0,05% (mtm) yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu.
“Penurunan inflasi bulanan tersebut disebabkan oleh deflasi yang terjadi di kelompok harga makanan bergejolak dan penurunan inflasi inti di tengah meningkatnya inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah,” paparnya.
Sementara itu, inflasi inti pada September tercatat sebesar 1,30 persen (yoy), sedikit menurun dari 1,31 persen (yoy) pada Agustus. Demikian pula, inflasi inti bulanan juga turun menjadi 0,13 persen (mtm) dari 0,21 persen (mtm) inflasi pada Agustus, tidak berubah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Perlambatan lebih lanjut dalam inflasi inti bulan lalu menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih lemah meskipun terjadi beberapa pelonggaran PPKM menyusul penurunan konfirmasi kasus baru yang harian. Inflasi inti yang lebih rendah juga disebabkan oleh tekanan deflasi pada emas perhiasan, sejalan dengan koreksi harga emas global namun diimbangi oleh kenaikan sewa rumah karena pemerintah mulai melonggarkan pembatasan mobilitas,” urai dia.
Pembatasan mobilitas darurat (PPKM) telah berhasil menekan kasus harian covid-19 dari rekor tertinggi sebanyak 56.757 kasus harian pada pertengahan Juli menjadi 915 kasus harian (per 15 Oktober). Angka positivity rate menurun dari setinggi 33 persen di bulan Juli menjadi 0,5 persen, berada jauh di bawah standar WHO sebesar kurang dari lima persen.
Menurut Riefky tanda-tanda perbaikan dari indikator covid-19 telah mendorong pemerintah untuk secara bertahap dan hati-hati melonggarkan pembatasan sosial untuk mendukung usaha kecil yang menderita di bawah kebijakan tersebut, dan menyeimbangkan dengan kecepatan vaksinasi. Pelonggaran pembatasan mobilitas masyarakat diperkirakan akan mendorong konsumsi dan investasi yang tertahan serta melanjutkan kemajuan pemulihan ekonomi.
“Secara keseluruhan, percepatan dan perluasan program vaksinasi bersamaan dengan respons kebijakan yang akomodatif melalui stimulus fiskal dan moneter sangat krusial untuk kembali mendorong momentum pertumbuhan ekonomi setelah melewati gelombang kedua pandemi akibat varian Delta. Kegiatan ekonomi berangsur-angsur pulih setelah pemerintah mulai secara perlahan melonggarkan pembatasan kegiatan masyarakat darurat (PPKM),” jelas dia.
Riefky mengungkapkan, terlepas dari ketidakstabilan akhir-akhir ini, rupiah terus terapresiasi menjadi sekitar Rp14.200 per dolar AS dari sekitar Rp14.300 per dolar AS didukung oleh situasi pandemi domestik yang lebih baik, kenaikan harga komoditas yang mendorong surplus perdagangan, dan cadangan devisa yang lebih tinggi.
“Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, rupiah merupakan salah satu yang berkinerja terbaik sejauh ini dengan tingkat depresiasi 0,2 persen (ytd) terhadap USD,” kata Riefky.