Jakarta, TopBusiness—Ekonom senior Hendri Saparini mengingatkan agar pemerintah tidak hanya sekadar befokus pada pemulihan ekonomi lebih tinggi. Pemerintah juga perlu melakukan perubahan struktur agar tak mengalami kejadian porak-poranda manufaktur seperti pada krisis 98.
“Kalau di 2022 kita tidak ada perubahan kebijakan, kita pulih tapi struktur tidak membaik, justru memburuk. Maka, jadi PR lebih besar lagi. Di 2023 kita sudah tidak punya kemewahan lagi untuk memberikan PEN lebih besar karena kita harus kembali pada defisit yang sesuai UU,” tegas Hendri, saat menjadi penanggap untuk kertas kerja “Catatan Ekonomi Indonesia di 2021”, oleh Ikatan Alumni (Iluni) UI, pada akhir pekan kemarin.
Kepala Lembaga Demografi UI Turro Wongkaren pun menanggapi, perlu membedakan rencana jangka pendek dan panjang. Dalam jangka pendek, perlu memastikan pandemi menjadi endemi, serta memulihkan kondisi ekonomi-sosial.
Untuk jangka panjang, dia menyarankan agar memperhatikan APBN yang berkelanjutan untuk masa depan (generational equity), serta ekosistem pembangunan human capital.
“Kebijakan ekonomi tidak bisa lagi hanya tentang isu-isu ekonomi konvensional, tapi tidak bisa dipisahkan dari kebijakan-kebijakan sosial,” tukas Turro.
Lebih lanjut, Ekonom Trimegah Fahrul Fulvian menyoroti, dari pasar tenaga kerja, pertumbuhan hiring baru perusahaan tidak bisa setinggi sebelumnya. Setelah pandemi, orang punya kecenderungan kerja freelance.
“Ini bisa dimasukkan juga untuk policy ke depan, bagaimana menghadapi pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerjanya, tidak growing dengan pertumbuhan sektor formal yang menjanjikan pekerja tetap,” ucap dia.