Jakarta, TopBusiness – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sektor perbankan mampu menunjukkan resiliensi dengan permodalan yang tinggi serta didukung dengan risiko kredit yang terjaga di tengah tekanan higher for longer tingkat suku bunga global.
Industri perbankan secara umum memiliki permodalan yang solid ditinjau dari Capital Adequacy Ratio (CAR) industri perbankan yang tinggi sebesar 27,66 persen.
Fungsi intermediasi perbankan juga berjalan dengan normal dalam menopang perekonomian baik di sisi pembiayaan (perkreditan) maupun dalam penghimpunan dana. Demikian seperti hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Senin (9/10/2023).
“Pada Agustus 2023, pertumbuhan penyaluran kredit meningkat sebesar 9,06 persen yoy (Juli 2023: 8,54 persen yoy) menjadi Rp6.739,40 triliun, dengan pertumbuhan tertinggi pada kredit investasi sebesar 11,25 persen yoy. Di sisi kepemilikan, pertumbuhan kredit terbesar tercatat dari Bank Umum Swasta Domestik yang tumbuh sebesar 12,34 persen yoy,” ujar Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK.
Di sisi lain, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Agustus 2023 tercatat sebesar 6,24 persen yoy (Juli 2023: 6,62 persen yoy) atau menjadi sebesar Rp8.082 triliun, dengan kontribusi terbesar dari Giro yang tumbuh sebesar 8,02 persen yoy. Pertumbuhan DPK yang termoderasi antara lain karena meningkatnya konsumsi masyarakat paska pencabutan status pandemi Covid-19.
Likuiditas industri perbankan pada Agustus 2023 dalam level yang memadai dengan rasio-rasio likuiditas yang terjaga. Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) yang meskipun sedikit turun masing-masing menjadi 118,50 persen (Juli 2023: 118,37 persen) dan 26,49 persen (Juli 2023: 26,57 persen), namun tetap jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga dengan rasio NPL net perbankan sebesar 0,79 persen (Juli 2023: 0,80 persen) dan NPL gross sebesar 2,50 persen (Juli 2023: 2,51 persen). Pemulihan ekonomi yang terus berlanjut di sektor riil mendorong penurunan kredit restrukturisasi Covid-19 sebesar Rp12,97 triliun menjadi Rp326,15 triliun (Juli 2023: Rp339,12 triliun), dengan jumlah nasabah turun 10 ribu menjadi 1,46 juta nasabah (Juli 2023: 1,46 juta nasabah).
Menurunnya jumlah kredit restrukturisasi berdampak positif bagi penurunan rasio Loan at Risk menjadi 12,55 persen (Juli 2023: 12,59 persen).
“Adapun jumlah kredit restrukturisasi Covid-19 yang bersifat targeted (segmen, sektor, industri dan daerah tertentu yang memerlukan periode restrukturisasi kredit/pembiayaan tambahan selama satu tahun sampai 31 Maret 2024) adalah 44,5 persen dari total porsi kredit restrukturisasi Covid-19 atau sebesar Rp145,25 triliun,” ungkap dia.
Seiring risiko kredit yang menurun, jumlah CKPN yang telah dibentuk bank relatif stabil, dengan nilai CKPN kredit pada Agustus 2023 tercatat sebesar Rp346,7 triliun atau naik sebesar Rp0,8 triliun secara mtm dengan coverage CKPN restru Covid-19 diestimasikan naik ke level 30,0 persen.
“Hal ini merupakan cerminan antisipasi perbankan dalam memitigasi potensi risiko kredit pada saat kebijakan restrukturisasi kredit akibat dampak lanjutan pandemi Covid-19 akan berakhir pada Maret 2024,” kata Dian.
Di tengah peningkatan dan fluktuasi tingkat imbal hasil surat utang AS, risiko pasar juga relatif terjaga. Posisi Devisa Neto (PDN) tercatat stabil rendah sebesar 1,72 persen (Juli 2023: 1,75 persen), jauh di bawah threshold 20 persen.
Peningkatan yield SBN diantisipasi Perbankan antara lain dengan memperpendek durasi SBN serta melakukan rebalancing jenis portfolio baik yang bersifat held to maturity maupun available for sale sehingga potensi kerugian dari perubahan nilai wajar surat berharga tidak mengganggu permodalan bank.
Tinginya permodalan perbankan diyakini mampu menyerap potensi risiko yang dihadapi dan OJK akan terus mendorong kinerja intermediasi dengan tetap menjaga keseimbangan antara pertumbuhan pembiayaan dan terjaganya likuiditas.
“Ke depan patut dicermati dampak lanjutan dari tingginya ketidakpastian perekonomian maupun geoplitikal global khususnya karena kebijakan moneter global yang masih ketat (hawkish) dan termoderasinya perekonomian Tiongkok, sehingga dapat meningkatkan sentimen terhadap risiko likuiditas maupun risiko pasar,” tegasnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, perbankan akan didorong untuk meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan pembentukan pencadangan secara memadai.
Dalam rangka mengukur ketahanan bank, selain melakukan stress test industri Perbankan secara periodik, OJK juga meminta perbankan secara rutin melakukan stress test secara mandiri guna memastikan kekuatan tingkat permodalannya untuk mengukur kemampuannya dalam menyerap potensi penurunan kualitas kredit restrukturisasi.