Jakarta, TopBusiness—-Total nilai HGBT (harga gas bumi tertentu) untuk industri yang dikeluarkan, termasuk untuk listrik, dari 2021 hingga 2023 sebesar Rp51,04 triliun. Sedangkan nilai tambahnya bagi perekonomian nasional sebesar Rp157,20 Triliun, atau meningkat hampir tiga kali lipat.
“Artinya, manfaat dan multiplier effect-nya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Dirjen ILMATE Kemenperin), Taufiek Bawazier, dalam keterangan tertulis, akhir pekan kemarin.
Dari tujuh sektor industri penerima HGBT, industri pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, serta sarung tangan karet, berhasil meningkatkan nilai tambah ekspor pada tahun 2021-2023 sebesar Rp84,98 rriliun. Itu dengan nilai ekspor terbesar diraih oleh sektor oleokimia sebesar Rp48,49 triliun.
Bukan hanya ekspor, peningkatan pajak diperoleh senilai Rp27,81 Triliun. Multiplier effect dari pemberian HGBT juga mendorong investasi baru sebesar Rp31,06 triliun, serta penurunan subsidi pupuk sebesar Rp13,33 triliun akibat penurunan Harga Pokok Penjualan (HPP) produksi.
“Sehingga logikanya, jika HGBT ditiadakan atau tidak diperpanjang, maka terdapat opportunity lost bagi industri yang berujung perekonomian akan merosot dan menurun tiga kali lipat. Hal ini juga menyebabkan produk kita menjadi tidak kompetitif, yang dapat berakibat pada penutupan pabrik serta PHK,” kata Taufiek.
Ia pun mengingatkan, kalangan industri membutuhkan gas murah baik sebagai energi dan feedstock. “Pelaku industri juga memperoleh gas dengan membeli, bukan gratis,” kata Taufiek.
Dari portfolio penerima HGBT, di tahun 2023, industri penerima berjumlah 265 perusahaan dan kelistrikan sebesar 56 perusahaan dengan total penerima sebesar 321 perusahaan. Alokasi gas industri hanya 1222,03 BBTUD dan kelistrikan sebesar 1231,22 BBTUD.
Artinya, masih lebih banyak sektor kelistrikan penerima alokasi HGBT dibandingkan industri. “Itupun hanya diberikan 85,31 persen dan banyak persoalan di lapangan, termasuk biaya surcharge,” terang dia.
Kemenperin berpendapat, meski terdapat berbagai kekurangan dari pelaksanaan HGBT, nilai positifnya masih lebih banyak dibanding bila program ini tidak dilanjutkan. Kepastian industri mendapatkan gas murah menjadi prioritas.
Sehingga bila memang Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, termasuk SKK Migas, menyatakan tidak sanggup meneruskan program HGBT, Kemenperin meminta opsi atau plan B untuk dibuka keran impor gas dari negara-negara teluk dengan harga yang bisa menyentuh USD3 per mmbtu untuk kebutuhan kawasan industri. Hal ini dengan kriteria untuk industri berorientasi ekspor dan subtitusi impor.
“Ini tentunya bisa mencapai enam kali lipat nilai tambah yang didapat dari HGBT gas domestik, sehingga dapat mendukung industri nasional untuk menjadi tangguh dan kuat, serta berdaya saing di tingkat Asean dan global, serta meningkatkan kontribusi sektor industri bagi pertumbuhan perekonomian nasional tetap tumbuh dari kontribusi sektor industri,” pinta Taufiek.