Jakarta, TopBusiness – PT TBS Energi Utama Tbk atau TBS telah melakukan kuantifikasi dan pemetaan risiko yang dikaitkan dengan key performance indicator (KPI) untuk menciptakan ES (enviromental, social), lalu governance (G). Salah satu contohnya adalah dengan melakukan kuantifikasi terhadap inisiatif risiko iklim (climate risk initiation) sebagai langkah memitigasi risiko dan dampak yang ditimbulkan.
Menurut Alvin Novalino selaku VP Risk Management, perusahaan melalui unit manajemen risiko telah mengembangkan yang namanya climate risk initiation, yang sekaligus pelopor di industri pertambangan dan energi. “Dari sisi risiko, kita coba melakukan apa namanya climate risk initiation. Climate risk inititation, ini kita mengintegrasikan antara ES-G-nya tadi dengan corporate risk management. Nah dari sini climate risk initiation di Indonesia, itu kita yang salah satu pioneer (pelopor) untuk melakukannya,” kata Alvin, di hadapan Dewan Juri TOP GRC Awards 2024, melalui aplikasi rapat zoom online di Jakarta, hari ini.
Unit manajemen risiko selalu melakukan perbaikan berkelanjutan pada laporan manajemen risiko yakni dengan penambahan kuantifikasi nilai atas risiko dan distribusi risiko berdasarkan rekomendasi Dragonfly sebagai konsultan perusahaan. Hal ini bertujuan untuk mempertajam mitigasi risiko di perusahaan.
Sebagai perusahaan yang bergerak di industri pertambangan berbasis batubara, TBS memitigasi segala risiko yang ditimbulkan akibat perubahan iklim. “Cuma sekarang, kita coba menginisiatif membuat duluan untuk climate risk initiation. Jadi, kita buat beberapa skenario untuk memperlihatkan kalau iklim itu naik beberapa derajat, tapi harus ada strategi perusahaan, seperti ini,” ujar Alvin.
Selanjutnya perusahaan melakukan pemetaan risiko dengan dikaitkan KPI. KPI sendiri merupakan alat atau instrumen guna mengukur dan menilai kinerja suatu perusahaan. Dalam hal ini, KPI tidak hanya membantu dalam mengukur hasil finansial, tetapi mencakup aspek-aspek non-finansial yang memengaruhi kesuksesan bisnis.
“Nah kami juga melakukan kuantifikasi dari risiko-risiko yang ada dan kami melakukan pemetaan dengan yang namanya KPI. Jadi, kami tahu risiko itu sebenarnya ujung-ujungnya adalah bagaimana kita bisa mencapai sebuah tujuan dan bagaimana sadar terhadap apa saja yang menghalangi tujuan tersebut. Dari sana kami coba mapping, apa sih yang dimaksud dengan risiko dan apa yang dimaksud KPI-nya. Dari KPI itu kami juga coba kuantifikasikan berapa sih kira-kira nilainya,” papar dia.
Lalu Alvin mencontohkan, ketika perusahaan mempunyai target pendapatan 300 juta dolar Amerika Serikat, maka sudah tahu risiko-risiko yang bisa menghalangi dari 300 juta dolar Amerika tersebut.
Sebagai ilustrasi saja. Ada beragam penggerak risiko yang dapat menggagalkan tujuan pendapatan perusahaan sebesar 300 juta dolar Amerika. Seperti penggerak risiko, berupa terjadinya kegagalan mesin dan alat berat secara tiba-tiba yang dapat menyebabkan terhambatnya produksi Listrik. Hal tersebut termasuk jenis risiko operasional dengan hitungan sebesar 50 juta dolar.
Lalu, risiko fluktuasi harga jual batubara yang merupakan risiko keuangan dengan hitungan 100 juta dolar Amerika. Terakhir, risiko tidak dapat mengikuti tender serta kalah dalam tender khususnya tender pembangkit listrik terbarukan. Ini merupakan jenis risiko strategis dengan hitungan 200 juta dolar AS.
Gambaran tersebut menjadi perhatian tim unit manajemen risiko agar menyadari potensi risiko, salah satunya akibat perubahan iklim sehingga dapat menghalangi target yang akan dicapai.
“Itu yang coba kami lakukan untuk bisa memperlihatkan kepada manajemen, bagaimana manajemen risiko itu bisa mengkuantifikasi dan bisa membuat awareness bagaimana goals tadi bisa terhalang dari risiko-risiko yang ada,” pungkas Alvin.