*Oleh Triana Lestari, Pemerhati Keuangan Negara—Pernahkah mendengar kata obligasi negara ritel (ORI) atau SUKRI? Keduanya adalah surat berharga negara (SBN), jenis ritel yang dijual kepada masyarakat umum. Untuk membeli ORI maupun SUKRI, hanya diperlukan uang sebesar minimal Rp 5 juta. ORI dan SUKRI memang ditujukan untuk menggaet masyarakat luas sebagai calon investor, sehingga masyarakat dapat lebih berperan dalam mendukung ketersediaan sumber pembiayaan anggaran melalui utang untuk pelaksanaan APBN.
Saat ini, SBN merupakan instrumen utama dari utang. Instrumen utang lainnya adalah pinjaman, baik pinjaman dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Ada tiga fungsi utama utang: 1) menutup defisit anggaran sebagai akibat adanya selisih negatif yang dihasilkan dari pendapatan dikurang belanja; 2) memenuhi kebutuhan membayar kembali (refinancing) utang yang jatuh tempo; 3) untuk pengeluaran pembiayaan, seperti pembiayaan investasi. Tahun ini, penerbitan SBN ritel ditargetkan sekitar Rp34 triliun. Jumlah tersebut merupakan bagian dari total penerbitan SBN untuk memenuhi rencana pembiayaan anggaran dengan total sekitar Rp684 triliun*.
SBN pada dasarnya utang berwujud surat pengakuan utang yang dijamin oleh pemerintah (pembayaran pokok dan bunganya) sesuai masa berlakunya. SBN terdiri dari surat utang negara (SUN), yang merupakan SBN bentuk konvensional, dan surat berharga syariah negara (SBSN), yang merupakan SBN dengan prinsip syariah. Dari sisi mata uang, penerbitan SBN dilakukan dalam mata uang Rupiah dan mata uang asing (Dolar AS, Euro, dan Yen).
Komposisi utang dalam bentuk SBN dibanding total utang selama lima tahun terakhir (2012-2016) berada di kisaran 69-79 persen. Untuk tahun ini, prediksi komposisi SBN dibanding total utang sampai akhir tahun adalah sebesar 72 persen. Diperkirakan, akhir tahun 2040 komposisi SBN sebesar 91 persen dari total utang Pemerintah Pusat. Peran SBN dalam kaitannya dengan utang mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun.
Kebijakan Pemerintah untuk menitikberatkan porsi utang dalam bentuk SBN bukan berarti menghilangkan utang yang berasal dari pinjaman sama sekali. Pinjaman dipertimbangkan masih diperlukan dalam upaya memenuhi sumber pembiayaan di tengah ketidakpastian pasar SBN. Namun demikian, mengutamakan penerbitan SBN merupakan kebijakan Pemerintah dalam rangka mengutamakan sumber pembiayaan dari dalam negeri. Walaupun pinjaman tidak seluruhnya berasal dari asing, tetapi secara nominal, pinjaman Pemerintah Pusat memang sebagian besar berasal dari pinjaman luar negeri.
Jika diperbandingkan dari sisi proses, alur komitmen pinjaman relatif lebih panjang dan waktu persiapannya lebih lama dibanding dengan penerbitan SBN. Misalnya saja, untuk pinjaman luar negeri berupa pinjaman proyek, Pemerintah perlu melakukan serangkaian proses, antara lain: perencanaan proyek, pre appraisal, penilaian kelayakan oleh calon donor, dan penandatanganan perjanjian. Proses panjang tersebut dimulai sejak T-4 (empat tahun sebelum pinjaman ditandatangani). Sementara itu, alur proses penerbitan SBN lebih ringkas. Sebagai contoh, dalam penerbitan SBSN pembiayaan proyek (sukuk project financing), alur prosesnya antara lain: pengusulan proyek, penyusunan Batas Maksimal Pinjaman (BMP), penyusunan daftar indikatif proyek, trilateral meeting, serta penyusunan daftar prioritas proyek. Proses tersebut dimulai pada T-2 (dua tahun sebelum penerbitan SBN).
Pemerintah melalui strategi pengelolaan utang 2014-2017 memandang pasar SBN masih perlu pengembangan agar aktif, dalam, dan likuid. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa SBN diharapkan dapat dicairkan dengan mudah pada tingkat harga yang wajar, serta dapat dimiliki oleh hampir semua pelaku pasar. Secara realita, ini dilakukan Pemerintah misalnya dengan meningkatkan jumlah penerbitan SBN jangka pendek (shortening duration) menjadi Rp5 triliun per lelang (semula Rp 2 triliun). Selain itu, Pemerintah juga tengah menjajaki kerja sama dengan bank, perusahaan efek, dan perusahaan fintech (financial technology) untuk menerbitkan SBN ritel online.
Salah satu isu mengenai SBN adalah penarikan dana secara tiba-tiba oleh investor asing (sudden reversal). Porsi kepemilikan asing terhadap SBN yang dapat diperdagangkan (tradable) per akhir Juli masih di bawah 40%. Di samping itu, imbal hasil relatif menarik dan fundamental ekonomi Indonesia dinilai masih baik. Apalagi, lembaga pemeringkat Fitch, Moody’s, dan S&P telah menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi investment grade. Sehingga, isu penarikan dana asing nampaknya belum perlu dikhawatirkan.
Dalam rangka pengelolaan portofolio SBN, beberapa upaya dilakukan oleh Pemerintah: debt switch (penukaran) dan buyback (pembelian kembali). Debt switch dilakukan dengan cara menukar suatu seri SBN dengan yang jatuh temponya kurang dari lima tahun dengan seri SBN lainnya (benchmark) yang biasanya memiliki jatuh tempo (tenor) lebih panjang. Artinya, tekanan dalam jangka pendek untuk membayar pokok SBN berkurang (refinancing risk). Sementara itu, buyback dilakukan dengan membeli kembali seri-seri SBN dengan kupon/ bunga tinggi. Tujuan buyback di antaranya untuk stabilisasi pasar dan pengelolaan portofolio utang.
Ternyata, pengelolaan utang yang hati-hati (prudent) tidak sesederhana pemikiran orang awam. Namun demikian, Pemerintah terus mengupayakan untuk mendapatkan kombinasi yang paling maksimal dari sisi biaya dan risiko dari penerbitan SBN.
Sekadar informasi,data mengenai pembiayaan anggaran (yang di dalamnya termasuk utang Pemerintah) dapat diakses di http://www.data-apbn.kemenkeu.go.id/.