Mulai 10 Oktober 2018, pemerintah akan melakukan penyesuaian atas de minimus value. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.04/2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman. De minimus value merupakan pembebasan nilai bea masuk atau nilai cukai dengan batas tertentu atas barang impor.
Penulis: Fajar Al Hadi
Aturan baru tersebut memperkecil nominal ketentuan nilai bebas bea masuk yang sebelumnya US$100 menjadi US$75 per hari. Pengenaan tarif bea masuk dibebankan sebesar 7,5% dari nilai keseluruhan barang, apabila telah melebihi de minimus value. Tarif tersebut belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22).
Aturan ini tentu saja akan merugikan bagi beberapa kalangan yang sering menerima barang kiriman dari luar negeri. Namun, hal ini sejalan dengan langkah pemerintah untuk menguatkan industri dalam negeri. Dengan berlakunya aturan ini, masyarakat akan cenderung berpikir ulang untuk melakukan pembelian secara impor terutama untuk barang yang nilainya di atas US$75 (sekitar 1,1 juta).
Ditengarai, sebelum adanya aturan baru tersebut, banyak pihak yang memanfaatkan celah dengan mentransaksikan barang di bawah US$100 secara berulang-ulang supaya tidak dikenakan pajak impor dan bea masuk. Perilaku tersebut tentunya menciptakan iklim persaingan yang tidak sehat bagi pengusaha ritel dalam negeri.
Meski begitu, Penerapan aturan ini tidak lantas dapat menghilangkan praktik underdeclaration, undervaluation, misdeclaration, hingga splitting barang kiriman yang kini kian marak. Perlu upaya lebih dari Ditjen Bea dan Cukai untuk memberantas dan mendeteksi modus-modus tersebut. Di antaranya dengan memperkuat sistem otomatisasi yang mampu melacak NPWP dan alamat pihak pembeli yang coba mengakali aturan ini. Diharapkan, nantinya masyarakat juga tidak menyalahgunakan fasilitas de minimus value ini.
Adapun, terdapat kabar gembira bagi para kolektor buku-buku dari luar negeri. Dalam Pasal 20 ayat 2 PMK 112 tersebut, disebutkan penetapan pembebanan tarif bea masuk dikecualikan terhadap impor barang kiriman berupa buku. Hal ini sedikit berbeda dengan PMK sebelumnya yang secara spesifik menyebutkan pengecualian hanya terhadap buku ilmu pengetahuan.
Buku menjadi satu-satunya barang yang dikecualikan dalam peraturan ini. Hal ini juga ditegaskan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, bahwa aturan ini akan berlaku untuk semua jenis barang (selain buku).
Bagi para kolektor buku, tentunya hal ini akan disambut positif. Hal ini terutama karena buku-buku impor seringkali dibanderol dengan harga yang sangat mahal. Bila dibandingkan bisa sampai lima kali harga buku terjemahannya yang diterbitkan di dalam negeri. Bukannya bermaksud mengesampingkan terjemahan bahasa Indonesia. Namun, tentu ada kepuasan sendiri bagi kolektor buku untuk membaca naskah aslinya sebelum diterjemahkan. Di samping itu, buku terjemahan seringkali dirilis jauh terlambat dari buku aslinya.
Tak hanya kolektor buku, ini juga merupakan angin sejuk bagi para penulis dalam negeri yang buku-bukunya diterjemahkan dan diterbitkan di luar negeri. Seringkali, beberapa penulis mengeluhkan karena diharuskan membayar bea impor yang cukup mahal atas kiriman gratis penerbit dari luar negeri (sebagai reward) atas buku terjemahannya. Tentu dirasa tak adil jika penulis perlu membayar atas reward-nya.
Pengecualian ini diharapkan dapat meningkatkan minat membaca masyarakat yang nantinya dapat mendapatkan referensi buku yang lebih beragam dari dalam dan luar negeri. Bagi penulis lokal, tentunya tak perlu takut dengan persaingan buku-buku impor dan justru menjadikan ini tantangan untuk bersaing ke level internasional.
*Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili kebijakan instansi tempat penulis bekerja