Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, kini menjadi pembicaraan yang hangat di masyarakat terutama kalangan UMKM. PP tersebut merupakan pengganti PP Nomor 46 Tahun 2013 yang telah berlaku efektif selama lima tahun sejak pemberlakuannya 1 Juli 2013.
Hal ini wajar terjadi karena pada kebijakan baru ini terdapat perubahan yang mencolok, yakni perubahan besaran tarif pajak PPh Final yang semula 1% menjadi 0,5%. Aturan ini diperuntukkan bagi Wajib Pajak dalam negeri yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan berbentuk Koperasi, Persekutuan Komanditer, Firma, dan Perseroan Terbatas yang memiliki peredaran bruto (omset) tidak melebihi Rp4,8 milyar dalam 1 tahun pajak. Batasan nilai tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa pemerintah menargetkan sebanyak mungkin UMKM untuk masuk dalam sistem perpajakan.
Tetapi perlu diingat, fasilitas ini memiliki batas waktu (grace period) tertentu atau tidak bisa dinikmati selamanya. Jangka waktu pengenaan PPh Final sebesar 0,5% ini berlaku selama tujuh tahun bagi WP Orang Pribadi, empat tahun bagi WP Badan berbentuk Koperasi, Persekutuan Komanditer atau Firma, dan tiga tahun bagi WP Badan berbentuk Perseroan Terbatas. Apabila batas waktu tersebut berakhir Wajib Pajak akan kembali menggunakan skema normal seperti yang telah diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 36 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Hal ini ditujukan untuk mendorong Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan keuangan dan pengembangan usaha yang tertib.
Dengan berlakunya penurunan tarif dari 1% menjadi 0,5% ini, banyak keuntungan yang diperoleh oleh para pebisnis tanah air, terutama meringankan beban pajak yang selama ini ditanggung oleh pelaku usaha. Sehingga mereka dapat menjaga cash-flow untuk mengembangkan modal usaha dan investasinya.
Sedangkan para pelaku UMKM (berbentuk Badan) yang telah melakukan pembukuan dengan baik dapat memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif normal yang diatur dalam Pasal 17 UU nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Konsekuensinya, penghitungan tarif PPh akan mengacu pada lapisan tarif penghasilan kena pajak. Tetapi Wajib Pajak akan terbebas dari PPh apabila mengalami kerugian fiskal. Wajib Pajak dapat memanfaatkan peraturan baru ini dalam jangka waktu tiga hingga tujuh tahun.
Tujuan diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini adalah sebagai pembelajaran bagi Wajib Pajak yang memiliki omset bruto tertentu untuk dapat menyelenggarakan pembukuan sebelum dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan umum. Hal ini juga untuk memudahkan mereka dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, sekaligus sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pelaku UMKM.
Menurut Deputi Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir bahwa UMKM menyumbang hingga 60,34% terhadap Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa jumlah usaha kecil di Indonesia mencapai 93,4%, sedangkan usaha menengah 5,1%, dan yang besar hanya 1% saja. Pendapat ini menunjukkan bahwa UMKM tidak bisa dipandang sebelah mata oleh pemerintah karena mereka memiliki peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Sebanyak 84.534 UMKM, Kembali Membayar Pajak
Kebijakan baru untuk UMKM ini, dibuat oleh pemerintah dengan pertimbangan untuk mendorong masyarakat lebih berperan serta dalam menggerakkan ekonomi formal, dan memberikan kemudahan serta lebih berkeadilan kepada wajib pajak. Dengan tarif 0,5% PPh Final ini diharapkan dapat menstimulus UMKM dalam Revolusi Industri 4.0 yang sedang berjalan saat ini. Kebijakan ini juga merupakan komitmen pemerintah untuk mendorong para pelaku UMKM agar semakin meningkatkan daya saingnya ditengah persaingan pasar global yang kian mengetat. Semenjak kurang lebih dua bulan berjalan, terhitung dari pembayaran pajak pada bulan Agustus 2018, Direktorat Jenderal Pajak mencatat adanya peningkatan sebanyak 84.534 Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh UMKM 0,5%. Wajib Pajak ini tercatat sebelumnya tidak membayar pajak baik PPh PP 46 2013 maupun PPh Pasal 25 masa dalam kurun waktu April-Juli 2018.
Seiring dengan peningkatan jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak ini secara otomatis juga meningkatkan penerimaan pajak yang sumbangsihnya terhadap APBN cukup besar yaitu sekitar 77%. Hal ini tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi pemerintah khususnya Ditjen Pajak. Hal tersebut karena, dalam keadaan ekonomi yang sedang rentan, nilai tukar rupiah yang sempat anjlok hingga efek eksternal dari perang dagang AS-Tiongkok yang begitu berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi indonesia ini terbukti tidak menghilangkan optimisme masyarakat dalam dunia bisnis. Berdasarkan data pada BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2018 sebesar 5,27%, lebih tinggi dibandingkan pada kuartal I 2018 yakni sebesar 5,17%. Moment ini memberikan harapan bagi pemerintah dan juga masyarakat untuk dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia pada kuartal III di tahun 2018. Selain itu, hal ini juga merupakan bukti dari bentuk sinergi antara masyarakat dengan pemerintah untuk saling bahu membahu memperbaiki perekonomian nasional. Dengan slogan andalan dari PPh Final “setengah persen sepenuh hati” masyarakat kini menunjukkan bahwa mereka tidak takut lagi untuk membayar pajak. Seperti yang telah menjadi latar belakang diterbitkannya peraturan ini yaitu memberikan keadilan bagi Wajib Pajak (WP), maka WP merasa tidak begitu terbebani oleh tarif pajak. Dengan begitu, sedikit demi sedikit masyarakat telah membangun kesadaran pajak dan kepercayaan terhadap pemerintah. Dengan kenaikan penerimaan pajak yang cukup signifikan ini pemerintah yakin bahwa perekonomian indonesia akan terus membaik secara bertahap.
Penulis: Eltania Suryani Frans, pemerhati pajak