Cops and Robbers (polisi dan perampok), itulah analogi yang dikemukakan oleh Braithwaite (2003) dalam Enforced versus Voluntary Tax Compliance: The “Slippery Slope” Framework oleh Kirchler, et al (2008) untuk menggambarkan hubungan antara otoritas pajak dengan wajib pajak. Dalam analogi tersebut, otoritas pajak menganggap wajib pajak sebagai “perampok” yang mencoba untuk menghindari pajak kapan pun mereka bisa (dan oleh karenanya perlu untuk selalu diperiksa). Di sisi lain, wajib pajak merasa dirinya “teraniaya” oleh petugas pajak (dan oleh karenanya wajar apabila mereka bersembunyi).
Oleh: Priananda Sanditya Rio P
Pegawai di Badan Kebijakan Fiskal
Dengan pendekatan tersebut, otoritas pajak menggunakan kuasa dan wewenang yang dimilikinya, melalui penegakan hukum dan pemeriksaan, untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Namun hasil yang timbul dari pendekatan semacam itu adalah enforced compliance, kepatuhan yang dilandasi rasa terpaksa. Padahal idealnya kepatuhan yang ingin dicapai adalah voluntary compliance, jenis kepatuhan yang didasari oleh kesadaran pribadi wajib pajak.
Kita tahu bersama bahwa jumlah penerimaan pajak sejak tahun 2009 sampai sekarang tidak pernah memenuhi target yang diamanatkan APBN, begitu pula angka kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, terlihat dari penyampaian SPT Tahunan 2018 yang baru berada di kisaran 63,9%. Meningkatkan kepatuhan pajak khususnya kepatuhan yang bersifat sukarela (voluntary) merupakan salah satu sasaran utama yang ingin dicapai oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena tingkat kepatuhan yang meningkat pada akhirnya akan berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Namun, jika otoritas pajak hanya mengandalkan coercive power dengan bertindak seperti polisi, dengan melihat pola komunikasi sekarang khususnya di antara generasi milenial yang sangat kritis, rasa-rasanya hal tersebut akan kurang efektif. Oleh karena itu, menurut Kirchler, et al (2008) ada satu lagi dimensi yang dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak khususnya yang bersifat voluntary compliance yaitu dimensi kepercayaan terhadap otoritas pajak.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kepercayaan terhadap otoritas pajak adalah melalui edukasi dan sosialisasi. Hasil Survei Global OECD tahun 2015 menyebutkan bahwa edukasi pajak merupakan sebuah mekanisme yang efektif untuk membangun kepercayaan masyarakat kepada otoritas pajak, sekaligus untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pajak. Edukasi pajak tidak hanya sekadar dapat meningkatkan kepatuhan, namun juga efektif sebagai instrumen yang memperkuat hubungan warga negara dengan negaranya sehingga wajib pajak memiliki persepsi bahwa membayar pajak adalah bagian integral dari relasinya dengan negara.
Masih lekat di ingatan kita suatu program yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada tahun 2017 lalu yaitu “Pajak Bertutur”, sebuah program edukasi pajak berskala nasional pada siswa sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Program tersebut merupakan tindak lanjut Memorandum of Understanding (MoU) yang diteken ketiga kementerian tersebut untuk memasukkan materi edukasi pajak ke dalam kurikulum pendidikan sehingga ke depannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya pajak, kepercayaan terhadap otoritas pajak, serta kepatuhan pajak secara luas dan berkelanjutan.
Harus diakui bahwa kita terlambat melakukan edukasi pajak secara masif dan terstruktur. , Nnamun, program tersebut tetap layak diapresiasi karena dapat menjadi titik awal program-program serupa. Kita perlu belajar pada negara-negara berkembang lain yang sudah melakukan edukasi pajak secara masif sejak beberapa tahun yang lalu untuk mengimbangi teknik lama yang mengandalkan coercive power melalui penegakan hukum. Agar semakin efektif, bentuk edukasi yang mereka terapkan sudah tidak lagi dalam format sosialisasi searah yang membosankan, melainkan telah bertransformasi melalui inovasi-inovasi baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Beberapa contohnya antara lain dengan menetapkan hari pajak nasional, mengadakan festival pajak berskala nasional yang sekaligus dapat menjadi agenda wisata, membuat aplikasi games interaktif (hal ini telah dilakukan oleh Malaysia), membuat film dan serial televisi yang bertemakan pajak, serta terus mengampanyekan peran pajak melalui media sosial.
Semua hal tersebut dilakukan demi meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mengubah paradigma wajib pajak terhadap petugas pajak, dari yang selama ini sebagai polisi yang selalu mengejar wajib pajak seperti perampok, menjadi penyedia layanan perpajakan berbasiskan kesadaran bersama. Karena meskipun perampok akan patuh pada polisi jika tertangkap, mereka tetap takkan pernah akur.
Referensi :
Gangl, K., Hofmann, E., & Kirchler, E. (2015). Tax authorities’ interaction with taxpayers: A conception of compliance in social dilemmas by power and trust. New Ideas in Psychology, 37, 13-23.
Kirchler, E., Hoelzl, E., & Wahl, I. (2008). Enforced versus voluntary tax compliance: The “slippery slope” framework. Journal of Economic Psychology, 29, 210–225.
http://news.ddtc.co.id/artikel/10702/edukasi-pajak-pesan-dari-pajak-bertutur/