Jakarta, TopBusiness – Ekonomi sekaligus pendiri Indef, Didik J Rachbini menilai, pemerintah lelet dalam menangani penyebaran virus corona baru atau Covid-19. Bahkan, untuk menyiapkan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 62,3 triliun saja, pemerintah harus mengais dari sisa belanja kementerian dan lembaga (K/L) .
Semestinya, pemerintah dan DPR RI tegas memutuskan untuk memangkas 20 persen belanja kementerian dan lembaga demi penanganan COVID-19.
Padahal saat 2008 terjadi krisis ekonomi, pemerintah dan DPR secara tegas memotong anggaran belanja kementerian dan lembaga sebesar 10 persen.
“Penghematan harus dilakukan, alokasi anggaran untuk krisis ini perlu segera dilakukan, tidak maju mundur tanpa kejelasan anggaran seperti sekarang ini. Sehingga dokter-dokter harus berteriak meminta alat pelindung diri, juga rumah sakit kekurangan obat,” kata Didik dalam video conference, Minggu (29/3/2020).
Pemerintah menyiapkan anggaran untuk penanganan virus corona hanya Rp 62,3 triliun. Dana ini bahkan diperoleh dari realokasi anggaran belanja kementerian dan lembaga yang dinilai bukan prioritas, seperti perjalanan dinas hingga sisa tender.
“Jangan sampai Indonesia bernasib sama seperti Italia. Pemerintah Italia ragu dan lambat mengambil keputusan lockdown, sehingga korban virus corona semakin meningkat,” ujarnya.
Hingga Sabtu (28/3/2020), jumlah korban positif corona di Italia sekitar 40.000 orang. Masa lockdown pun akhirnya diperpanjang hingga melewati 3 April 2020.
“Untuk memutuskan lockdown saja harus berdebat dengan politisi tidak ada ujungnya, sehingga tidak mendapat kepercayaan dan dukungan masyarakat secara penuh. Mirip dengan pemerintah Italia, ragu-ragu mengambil keputusan sampai penyebaran sangat meluas dan menelan ribuan korban. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” tuturnya.
Seharusnya Rp 1.000 Triliun
Sementara itu, ekonom Senior Indef, Fadhil Hasan,menilai anggaran Rp 62,3 triliun untuk penganganan Covid-19 itu terlalu kecil jika dibandingkan yang dikeluarkan pemerintah Malaysia senilai 250 miliar ringgit atau setara Rp 925 triliun (kurs Rp 3.701 per ringgit).
Seharusnya, kata Fadhil, pemerintah Indonesia bisa mengguyur stimulus hingga Rp 1.000 triliun untuk menghasilkan outcome ekonomi yang positif, baik bagi dunia usaha maupun masyarakat.
“Saya memperkirakan stimulus yang dibutuhkan dan mau signifikan ke perekonomian, atau bisa menghasilkan outcome yang baik, pada kisaran Rp 600 triliun sampai Rp 1.000 triliun,” ujar Fadhil
Meskipun, katanya, stimulus itu tak bisa dilihat hanya dari ukuran jumlah yang dikeluarkan. Jumlah kasus positif corona di Malaysia juga jauh lebih banyak dari Indonesia, yakni 2.161 kasus hingga Sabtu (28/3). Sementara di Indonesia 1.155 orang positif corona.
Tak hanya itu, pemerintah Malaysia juga melakukan karantina wilayah secara penuh atau lockdown sejak 18 Maret dan diperpanjang hingga 14 April 2020. Selama lockdown, Malaysia juga memberikan kebutuhan bahan pokok bagi warganya.
Namun menurut Fadhil, keputusan pemerintah Malaysia yang cepat menangani pandemi Covid-19 ini patut dicontoh Kabinet Indonesia Maju. Prioritas kesehatan merupakan yang utama, sehingga ekonomi akan berjalan jika pemulihan cepat dilakukan.
“Jadi tidak boleh kita ada pilihan ekonomi atau kesehatan. Harus melakukan pencegahan, penyebaran, dan penyelamatan dari Covid-19 yang utama. Dan sebetulnya, pada saat yang sama kita juga menyelamatkan perekonomian kita,” jelasnya.