Jakarta, TopBusiness – PT Bank Woori Saudara Indonesia Tbk (SDRA) terus mempraktikkan nilai-nilai Governance, Risk, and Compliance (GRC) di level tinggi dalam menjalankan bisnis perbankan. Sebagai lembaga yang mengelola dan menyalurkan dana masyarakat, prinsip GRC tak bisa dipisahkan begitu saja. Dan sudah pasti dengan adanya implementasi GRC ini kinerja perseroan menjadi lebih baik.
Hal ini seperti disampaikan oleh Sadhana Priatmadja, Direktur Business Support yang merangkap sebagai Direktur Risiko dan Kepatuhan Bank Woori Saudara (BWS), dalam acara penjurian Top GRC 2020 yang digelar Majalah TopBusiness secara virtual, Rabu (17/6/2020).
Sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) II, Bank Woori tentu akan terus memperkuat praktek GRC ini. Salah satunya terkait manajemen risiko. Dalam hal ini, antara lain, pihak manajemen telah melakukan identifikasi risk profile dengan menyusun dan merumuskan sistem pengukuran profil risiko bank sebagai sarana untuk mengidentifikasi risiko yang mungkin timbul dari berbagai aktivitas bank.
“Dan hasilnya juga dapat digunakan untuk menerapkan strategi perusahaan di waktu yang akan datang. Sehingga dalam hal ini sebagai bagian dari proses identifikasi profil risiko bank, BWS juga menetapkan risk appetite, risk limit, dan risk tolerance, berdasarkan berbagai kriteria kuantitatif dan kualitatif,” terang dia.
Dan untuk menguatkan implementasi manajemen risiko itu, dalam pengawasan yang dilakukan menejemen, bank yang mayoritas sahamnya dipegang investor Korea Selatan itu membentuk tiga komite risiko, yaitu Komite Majamenen Risiko di bawah direksi, Komite Pemantau Risiko di bawah komisaris, dan Komite Asset Liability Management (ALMA).
“Termasuk juga perseroan menyusun dan melaksanakan stress test scenario terhadap berbagai kondisi bank, baik untuk kondisi kredit dan kondisi likuiditas. Hal ini khususnya sebagai upaya bank dalam menanggapi dan menghadapi potensi dampak dari pandemi Covid-19 yang sedang terjadi sekarang ini,” kata Sadhana.
Dengan cara, kata dia, untuk pengelolaan risiko kredit melalui pemantauan flow rate overdue loans dan NPL (non performing loan) movement secara berkala. Juga penetapan indicator internal, limit dan threshold untuk mengawasi ketidakseimbangan likuiditas bank. Indikator-indikator tersebut diharapkan menjadi alat identifikasi permasalahan dan penentuan mitigasi risiko likuiditas.
“Dan saat ini, terkait dengan risiko operasional, BWS juga tengah menyusun risk and control self assessment (RCSA) dan membangun Operational Risk Management yang akan terintegrasi,” katanya.
Tercatat, hingga akhir 2019 lalu, kinerja perseroan masih relatif positif. Seperti raihan asset perseroan mencapai Rp36,93 triliun di akhir 2019 lalu atau meningkat dari sebelumnya di angka Rp29,63 triliun secara year on year (yoy). Dengan pinjaman yang diberikan sebanyak Rp26,42 triliun dari sebelumnya Rp22,29 triliun (yoy). Sedang Dana Pihak Ketiga (DPK) sebanyak Rp19,06 triliun dan sebelumnya Rp15,39 triliun (yoy).
Meski kucuran kredit cukup deras, namun perseroan tetap bisa menjaga rasio kredit macetnya di posisi 1,64% dari akhir tahun lalu di angka 1,72%. Sedang NPL net sebesar 1,1%. “Dan saat ini, sebagai manajemen risiko untuk pengucuran kredit kita kurangi. Seperti kredit korporasi atau kredit yang high risk kita hentikan sementara. Jadi kredit kita banyak ke ASN dan pensiunan,” pungkas Sadhana.
Foto: Istimewa