Jakarta, TopBusiness – Sidang perkara tuduhan Tindak Pidana Perbankan terhadap mantan direksi dan karyawan PT Bank Permata Tbk (BNLI) bergulir semakin jelas. Sejak minggu lalu, sidang berlangsung dengan mendengarkan keterangan saksi yang meringankan dan keterangan Ahli terkait.
Sebelumnya, tiga terdakwa menyatakan memperbaiki atau mencabut keterangan BAP yaitu Eko Wilianto, Muhammad Alfian Syah, dan Ardi Sedaka. Ketiganya menyatakan alasan mereka bahwa BAP sudah dirancang baik pertanyaan maupun jawabannya.
“Sebagai sesama alumni CC83 & FEUI83 kami memahami mengapa Ardi dan dua terdakwa lainnya mencabut BAP kesaksian mereka. Kita pun tentu memiliki prinsip yang sama bahwa ya adalah ya, dan tidak adalah tidak. Kebenaran harus didahulukan sehingga keadilan dapat ditegakkan,” ujar Koordinator CC83, Bibin Busono dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (10/8/2020).
Diketahui dari persidangan, Saksi Pelapor dari kepolisian ternyata juga menjadi Penyidik perkara pidana ini. Saksi Dian Andriawan Daeng Tawang menyampaikan bahwa dalam suatu persidangan beberapa tahun silam, mantan Hakim Agung Arbijoto pernah menyatakan bahwa Pelapor yang juga menjadi Penyidik akan cenderung melakukan “abuse of power”.
Bahkan dalam perkara pidana lainnya, Mahkamah Agung membebaskan terdakwa karena saksi yang ada hanyalah saksi penangkap dari kepolisian yang juga sebagai penyidik, sehingga mempunyai benturan kepentingan dan tidak memiliki kualitas sebagai saksi sesuai Hukum Acara Pidana.
Sementara itu di kesempatan berbeda, Ahli HAM Dianto Bachriadi, Ph.D. menyampaikan bahwa sistem hukum HAM memberikan jaminan kepada warga negara agar hak-hak konstitusional dan hak-hak hukumnya atas seperangkat hak asasi manusia tidak terlanggar akibat dominasi atau kuasa yang besar yang dimiliki oleh aparatur penyelenggara Negara dan pemerintahan.
Dirinya menambahkan bahwa pelanggaran HAM pada hakekatnya adalah perbuatan melawan hukum atau serta merta merupakan pelanggaran hukum.
KUHAP dan aturan-aturan yang terkait lainnya pada dasarnya adalah pedoman untuk melaksanakan prinsip “due process of law” yang pada dasarnya antara lain mengikuti prosedur dan mengedepankan obyektivitas dan ketidak-berpihakan dalam menentukan seseorang diduga, disangka, didakwa, juga dituntut telah melakukan tindak pidana.
“Namun ini peradilan yang sesat,” kritik Dianto. “Sangat mungkin terjadi manakala sejak tahap awal proses pemidanaan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tidak dijalankan dengan berpegang pada prinsip due process of law.”
Dalam pandangannya, proses persidangan pidana dengan terdakwa Ardi Sedaka banyak mengandung pelanggaran HAM dan pelanggaran ketentuan hukum khususnya dalam proses penyidikan dan penetapan terdakwa.
Menurut rencana, hari ini sidang dilanjutkan dengan mendengarkan Keterangan Ahli yaitu Abdul Wahid Oscar, SH, MH, mantan Hakim Pengawas pada Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Oscar dihadirkan oleh tim Penasihat Hukum dari Ardi Sedaka.
Sahat Panggabean, Koordinator FEUI83 menambahkan, pihaknya sebagai alumni CC83 & FEUI83 merasakan bahwa kehadiran Ahli yang memahami proses peradilan merupakan hal yang mendesak saat ini.
“Bagaimana mungkin debitur dengan kredit macet, dan terbukti bersalah di pengadilan, bisa menuntut balik bank yang memberikan kredit kepadanya dan menjadikan karyawan bank sebagai terdakwa? Tetapi inilah yang sekarang terjadi dan kami tidak akan jemu-jemu berupaya membantu Ardi terlepas dari kejanggalan kasus inim,” kecam Sahat.
Foto: Istimewa