Jakarta, TopBusiness – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memastikan akan kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara penuh. Tak lagi transisi. Kebijakan ini dirasa cukup memberatkan banyak sektor ekonomi termasuk sektor property.
Apalagi memang, menurut CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda kondisi sektor property juga tak lepas dari kondisi sektor keuangan, terutama perbankan yang masih dibayangi banyak masalah ketika dihadapkan oleh kondisi resesi nanti.
Terlebih saat ini, program restrukturisasi pinjaman di perbankan sudah mencapai Rp857 triliun yang sebagian besar terancam macet bila tidak ada kebijakan relaksasi sampai akhir tahun. Dengan rentetan kekhawatiran tersebut, sektor properti dihadapkan pada kondisi yang tidak menguntungkan.
Berdasarkan survei pasar properti di Jabodebek-Banten di triwulan II-2020 yang dilakukan IPW memerlihatkan pasar mengalami kenaikan luar biasa, hampir naik dua kali lipat dibandingkan triwulan I- 2020.
“Pergerakan ini terlihat jelas pada akhir Mei setelah PSBB di sejumlah daerah dilonggarkan. Euforia masyarakat yang melihat pasar properti sebagai instrumen investasi yang aman membuat pasar bergerak naik,” kata Ali, di Jakarta, Kamis (10/9/2020).
Sebelumnya Ali mengatakan, pergerakan ini meskipun menggembirakan, namun polanya masih belum stabil dan sangat rentan terhadap kebijakan pemerintah yang diambil dalam menghadapi pandemi.
Karena seperti diketahui pasar properti triwulan I mengalami anjlok sampai 50,1 persen saat terjadinya pemberlakukan PSBB. “Artinya pemberlakuan PSBB akan sangat memengaruhi pasar properti saat ini,” ucapnya.
Dengan diberlakukannya kembali PSBB di sejumlah daerah termasuk di DKI Jakarta per 14 September mendatang membuat kekhawatiran pasar properti kembali mengalami konstraksi tajam. Dampaknya diperkirakan akan terlihat di triwulan IV-2020 nanti. Bila pengetatan PSBB terus berlanjut maka sampai akhir tahun 2020 pasar properti akan tertekan hebat.
Kondisi para pengembang kelas menengah sampai kecil saat ini sangat tertekan. Seperti yang telah diperkirakan sebelumnya bahwa daya tahan pengembang ini diperkirakan 3–6 bulan sejak Maret 2020. Yang artinya bulan depan bila kondisi masih belum membaik, akan mulai terjadi seleksi alam bagi pengembang. Yang tidak dapat bertahan pastinya akan kolaps.
“Sementara di sisi lain, pasar konsumen akan melihat kondisi saat ini dengan lebih mengetatkan cash flow dan antisipasi kemungkinan terburuk paling cepat sampai akhir 2020. Dampaknya akan membuat periode wait and see semakin panjang,” pungkas Ali.
Foto: Istimewa
