Jakarta, TopBusiness – Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) sejak tiga tahun lalu membangun empat pabrik pengolahan nikel untuk baterai mobil listrik (EV) di Morowali, Sulawesi Tenggara dengan total investasi mencapai US$ 3 miliar. Namun sampai saat ini belum ada yang beroperasi karena terkendala masalah pembuangan tailing atau limbah tambang .
Keempat pabrik tersebut adalah PT Huayue Nickel Cobalt dengan kapasitas 70.000 MTPY Ni-Co, PT QMB New Energy Material dengan kapasitas 50.000 MTPY Ni-Sulfide & Ni-Co, PT Fajar Metal Industry berkapasitas 60.000 MTPY Ni-Sulfide, dan PT Teluk Metal Industry berkapasitas 60.000 MTPY Ni-Sulfide.
“Jadi total kapasitas kita di Morowali untuk baterai listrik ini 240 ribu MT nikel per tahun,” ujar Alexander Barus, CEO IMIP dalam Dialog Nasional Lembaga Kajian Nawacita (LKN) bertema “Kebijakan Investasi untuk Mendorong Percepatan Industrialisasi Berbasis Sumber Daya Mineral dan Energi” yang digelar, Kamis (21/10/2021).
Setelah tiga tahun pembangunan, pabrik pengolahan nikel untuk katoda Battery-EV ini belum juga berproduksi. Hanya pabrik PT Huayue yang kemungkinan baru produksi tahun 2022.

“Ada masalah utama yang dihadapi, masalah tailing dari hasil proses produksi ini. Kalau kita hitung, katakanlah nikel kita ambil 1,5 persen, lalu nikel cobalt gabung lain 0,5 persen. Total kita ambil 2 persen. Mose 33 persen untuk lebih simpel jadi 35 persen, jadi sebetulnya kita tersisa 65 persen, nah 65 persen ini tailing. Katakan kita butuh 10 juta metrik ton (MT), jadi sudah 6,5 juta MT tailing. Ini kemana kita lakukan. Ini persoalan utamanya,” ujar Alex.
Di awal perencanaan, menurut Alex, limbah tailing itu dibuang ke laut dalam yang tidak ada kehidupan. Tapi dalam prosesnya ditentang oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) karena akan mengubah struktur tangkap nelayan dan mengganggu keseimbangan biota laut.
“Akhirnya kita putuskan dibangun DAM di darat. Untuk Huayue dengan kapasitas 70 ribu MT ini butuh sekitar 400 hektare lahan untuk tailing. Inilah yang menjadi persoalan kita begitu lama terkait AMDAL,” tuturnya.
Baca juga: Dukung Pengembangan Mobil Listrik, LKN Kembali Gelar Dialog Nasional
Saat ini, menurut Alex, pihaknya berupaya mencarikan solusi agar tailing ini tidak menjadi limbah (waste), tapi diolah menjadi produk lain. Berdasar penelitiannya, tailing tersebut bisa diolah menjadi bahan untuk konstruksi bangunan maupun roadbase.
“Ini yang akan menghambat secara teknis pembangunan ekstrak nikel kadar rendah menghasilkan katoda nikel, cobalt dan mangan. Inilah letak kunci bagaimana mengembangkan komponen baterai listrik ini,” ujar Alex.
Di samping itu, menurut dia, pihaknya juga masih berpikir tentang bahan baku untuk membuat anoda dari grafit. “Ini mungkin dari batubara. Sehingga kita mencari solusi kemungkinan menggantikan lithium ini dengan bahan lain yang ada di Indonesia dalam proses anodanya,” tuturnya.
Tantangan Industri Baterai Listrik
Pembicara lain, Prof. Dr. Ir. M. Zaki Mubarok dari Fakultas Teknik Metalurgi, FTTM – ITB memprediksi, industri dan pasar mobil listrik akan tumbuh pesat dalam beberapa tahun ke depan. Baterei merupakan komponen kunci untuk mobil listrik dan berkontribusi sekitar 35% dari harga mobil listrik saat ini.
“Komponen biaya terbesar untuk pembuatan baterei mobil listrik adalah biaya material sekitar 60persen, khususnya material katoda,” tutur dia.
Kecuali lithium dan grafit yang belum dipastikan ketersediaannya, Indonesia mempunyai bahan-bahan baku untuk nikel, kobalt, mangan, aluminium dan tembaga. Material katoda memberikan kontribusi paling tinggi terhadap harga sel baterai lithium yaitu sekitar 34 persen.
“Dengan tuntutan harga baterei yang lebih murah, proporsi penggunaan kobalt di katoda semakin dikurangi dengan menambah proporsi nikel,” ujar dia.
Menurut Prof Zaki, Indonesia dapat memainkan peran strategis dalam industri kendaraan listrik dengan ketersediaan bahan baku, khususnya nikel dan kobalt, dan ketersediaan pasar mobil di dalam negeri.
Kondisi saat ini, kata dia, baru dua pabrik yang sudah beroperasi dengan produk bahan baku baterai (PT Halmahera Persada Lygend (kapasitas sekitar 31.000 ton Ni) dan PT Gebe Industry Nickel (kapasitas sekitar 8000 ton Ni) masing-masing dalam bentuk MHP (Mixed Hydroxide Precipitate). MHP perlu dimurnikan dulu menjadi Ni-sulfat dan Co-sulfat baru kemudian menjadi prekursor katoda baterai EV
“Untuk kebutuhan mangan-sulfat belum dapat dipenuhi dari dalam negeri, meskipun terdapat cadangan bijih mangan di NTT, Lampung dan beberapa daerah lainnya.Di sisi lain RI adalah pengimport electrolytic manganese dioxide (EMD) terbesar ke-2 di dunia untuk keperluan pabrik baterai alkaline di dalam negeri,” tutur Prof Zaki.
Kendala lainnya adalah belum ada kepastian ketersediaan sumber daya dan cadangan lithium di Indonesia, sehingga solusinya adalah impor bahan baku tersebut. “Untuk kebutuhan Cu sudah dapat dipenuhi oleh smelter PFFI Cu yang baru sekitar 600 ton Cu dan pabrik lainya,” ucap dia.
Menurut Prof Zaki, kebutuhan industri hilir untuk aluminium di Indonesia belum dapat dipenuhi oleh PT Inalum yang memiliki kapasitas produksi 250.000 ton/tahun. Sehingga perlu ada peningkatan kapasitas eksisting Inalum.
Tantangan lainnya, kata Prof Zaki adalah penanganan dan penempatan limbah pabrik. Limbah pabrik hidrometalurgi berbentuk slurry tersebut harus dipastikan aman dan tidak mencemari lingkungan.
” Limbah pabrik leaching bijih limonit mengandung besi dalam jumlahtinggi (kadar Fe dalam bijih limonit 40-50%), sharusnya dapat dimanfaatkan,” tuturnya.
Tantangan selanjutnya dari technology provider untuk pabrik pengolahan dan pemurnian mineral hampir semua dari luar negeri dengan high capex. Hanya kelompok pebisnis dengan kemampuan finansial tertentu. Sebab itu, banyak pemilik IUP nikel yang kesulitan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian karena biaya investasi yang sangat besar.
Namun saat ini sudah mulai tumbuh kontribusi dalam negeri dalam pengembangan teknologi alternatif untuk pengolahan dan pemurnian nikel di dalam negeri (lower capex, modular plant). “Ini perlu didukung dan dikembangkan secara tuntas sehingga betul-betul commercially applicable, competitive and proven,” ucap dia.