(bagian terakhir dari tiga tulisan)
Kerja keras manajemen PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) atau PT Inti dalam melakukan transformasi dan membenahi tata kelola perusahaan berbuah manis. Pelan tapi pasti, kinerja keuangan PT Inti dalam tiga tahun terakhir membaik.
Tahun 2019, laba kotor perseroan di angka 4 persen dari total pendapatan, belum dikurangi beban usaha. Tahun 2020, laba kotor naik menjadi 7,5 persen dari pendapatan dan 2021 meningkat jadi 12,5 persen.
“Saat ini sampai Mei 2022, laba kotor kami naik menjadi 15 persen. Kalau pertumbuhan CAGR dari tahun 2019 sampai sekarang sudah naik ratusan persen. Inilah yang saya sebut fundamental perusahaan,” tutur Otong Iip, direktur utama PT Inti saat wawancara dengan TopBusiness di kantornya di Bandung, Kamis (16/6/2022).
Bicara fundamental perusahaan, kata Otong Iip yang akrab disapa Oip ini, ukuran pertamanya adalah laba kotor. Percuma, revenue sebesar apa pun kalau laba kotornya hanya 2 atau 4 persen bakal habis terpangkas oleh beban usaha.
“Best practice-nya atau benchmark dari perusahaan telekomunikasi itu laba kotor atau gross profit margin berada di angka 15 persen. Alhamdulillah tahun ini sudah di angka 15 persen sesuai laba kotor industri sejenis,” ujarnya.
Tahun 2023, Oip menargetkan laba kotor PT Inti bisa mencapai 17,5 persen dan tahun 2024 naik lagi menjadi 20 persen. “Baru itu sangat menarik, karena itu di atas growth industrinya. Itu dari sisi fundamental,” ucapnya.
Kedua dari sisi ukuran recurring business. PT Telkom Indonesia secara bisnis begitu kuat, karena recurring business itu mecapai 90 persen dari pendapatan. Sebab itu, selama pandemi covid-19 di mana pekerja banyak work from home (WFH), pendapatan perusahaan justru meningkat.
“Tapi yang project base, apalagi yang mengandalkan APBN atau APBD, habis karena anggaran tidak keluar sehingga tidak ada proyek. Makanya recurring business itu penting untuk mendukung fundamental perusahaan,” tegasnya.
Tahun 2019, menurut Oip, recurring business PT Inti masih di angka 10 persen. Kemudian naik menjadi 30 persen pada 2020 dan 40 persen pada 2021. “Saat ini, recurring business kami sudah 50 persen. Saya targetkan ke depan bisa sampai 70 persen, supaya aman dengan bisnis yang berulang-ulang. Supaya tidak cape ikut tender dan diadu-aduin terus,” tuturnya.
Selain itu, fokus manajemen saat ini memperbaiki cashflow perusahaan. PT Inti masih menghadapi masalah keuangan karena ada gendongan dari manajemen sebelumnya. Untuk itu, pihaknya masih berupaya melanjutkan tranformasi keuangan melalui restrukturisasi utang Rp 1,6 triliun.
“Kita melakukan restrukturisasi utang dengan perbankan, optimalisasi aset. Aset kita ini gedung dan tanah 4,6 hektare di tengah Kota Bandung. Bagaimana itu dimonetisasi. Apakah dijual separuh atau di-KSO-kan dengan pihak lain separuh, sehingga debt menjadi efisien. Mudah-mudahan tahun ini sudah ada realisasi dari transformasi keuangan ini,” paparnya.
Menurut Oip, transformasi keuangan ini paling signifikan dan dilakuan terakhir setelah fundamental perusahaan membaik. Setelah fundamental perusahaan bagus, pihak lain akan percaya dan tertarik berpartner dengan PT Inti. “Sekarang saya sudah sering ketemu orang, dari China, Korea, dan lokal juga banyak. Tahun 2019, mana ada yang mau?,” ucapnya.
Dulu, kata Oip, ketika PT Inti berpartner dengan pihak lain, profit sharing-nya bisa 90 persen banding 10 persen. Partner dapat 90 persen, karena ada risiko proyek tidak terbayar. “Sekarang Alhamdulillah profit sharing kita sudah fifthy-fifthy, bahkan ada yang 30 persen mereka. Ini seiring dengan risikonya yang berkurang, bargaining posisition kita yang meningkat, dan seiring dengan proyek-proyek yang berkualitas,” tuturnya.
Selain itu, pembenahan di SDM juga sangat penting dan menjadi kunci keberhasilan perusahaan. Tahun 2019, produktivitas per karyawan atau revenue per employ hanya Rp 600 juta. Tahun berikutnya naik menjadi Rp 800 juta, kemudian tahun 2021 naik menjadi Rp 1 miliar. “Tahun ini kami targetkan naik menjadi Rp 2,7 miliar. Jadi naik empat kali lipat dibandingkan 2019,” kata Oip.
Jika melihat perbandingan produktivitas karyawan tahun 2019 dan target 2022 diakui naik cukup tinggi. Tapi dibandingkan produktivitas di sektor industri telekomunikasi, produktivitas karyawan PT Inti masih relatif rendah. Oip membandingkan dengan PT Telkom yang memiliki produktivitas per karyawan mencapai Rp 10 miliar per orang. “Bahkan sekarang sudah lebih. Telkomsel bahkan lebih tinggi lagi bisa mencapai Rp 20-30 miliar per orang. Jadi kenaikan kita tidak seberapa, tapi kita bertahap,” jelasnya.
Transformasi yang dilakukan di SDM antara lain mengurangi jumlah karyawan. Ada lima program yang dilakukan manajemen PT Inti untuk mengurangi SDM tapi tidak membuat gaduh karyawan. Pertama adalah merumahkan karyawan yang mempunyai kriteria tertentu. Mereka tidak perlu datang ke kantor, tapi tetap menerima gaji 50 persen. “Ini bisa jadi menarik karena mereka di rumah bisa usaha sendiri, dagang, atau yang lain,” ucapnya.
Baca juga Sukses Lewati Masa Krisis, PT Inti Siap ‘Gas Pol’
Kedua, menawarkan cuti di luar tanggungan kepada karyawan yang ingin sekolah atau kepentingan yang lain. Mereka tidak digaji, tapi statusnya masih sebagai karyawan. Ada juga program pensiun normal, tapi tidak ada penggantian posisi yang kosong. “Yang tadinya dikerjakan tiga orang jadi cukup dua orang atau bahkan ada yang jadi satu orang,” kata dia.
Kemudian ada program pensiun dini. Umumnya program pensium dini di tempat lain itu pesangonnya dibayar tunai. “Karena kita tidak punya uang, kita cicil empat tahun. Ini secara cashflow tidak memberatkan,” ungkapnya.
Program-program tersebut mengakibatkan selama tiga tahun terjadi pengurangan karyawan hingga 50 persen, sehingga tekanan terhadap biaya karyawan langsung turun signifikan. Tahun 2019, jumlah karyawan PT Inti mencapai 800 orang, dan saat ini tinggal sekitar 400 orang.
“Jadi di atas, marginnya membaik, di tengah bebannya berkurang, sehingga bottom-nya membaik. Tiga tahun terakhir kinerja keuangan kita tumbuh terus.”
Tahun 2019, EBITDA PT Inti sebesar minus Rp 370 miliar dan nett income minus Rp 500 miliar. Sampai tahun 2021 lau kinerja keuangan PT Inti memang masih belum positif, tapi sudah jauh berkurang kerugiannya. Tahun 2020, nett income membaik jadi minus Rp 180 miliar, sedangkan EBITDA turun jadi Rp 90-an miliar.Tahun 2021, nett income minus Rp 90 miliar dan EBITDA turun menjadi sekitar Rp 40-an miliar. “Jadi kinerja kami tumbuh sekitar 50 persen,” ungkapnya.
Tahun 2022 ini, sesuai Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT Inti, untuk nett income ditargetkan tinggal negatif Rp 20-30 miliar. Bahkan Oip berharap nett income-nya sudah bisa positif tahun ini. “Dalam situasi pandemi covid, perusahaan yang sehat pun bisa sakit. Tapi Alhamdulillah kami tetap bisa tumbuh,” ujarnya.
Implementasi GRC
Keberhasilan PT Inti meningkatkan performa bisnis perusahaan tak terlepas dari implementasi governance, risk management dan compliance (GRC). Menurut Oip, dirinya masuk ke PT Inti berbekal pengalaman 30 tahun di perusahaan yang memiliki komitmen kuat pada GRC, PT Telkom Indonesia Tbk.
Ada beberapa langkah terobosan yang dilakukan Oip dalam pelaksaan GRC di PT Inti. Misalnya adalah meningkatkan fungsi legal dari sebelumnya ditangani level manager menjadi menjadi vice president (VP). Kemudian untuk manajemen risiko yang sebelumnya tidak ada, sekarang ditangani level manager.
“Manajemen risiko itu menangani profiling risiko. Setiap ada perubahan organisasi itu dibuat risk profile. Lalu risk profile ini dipilah jadi empat kelompok dari low risk, midle, high dan very high risk. Ini beda mitigasinya. Untuk yang high dan very high tentu mitigasinya harus sampai ke saya,” tutur Oip.
Untuk yang low risk, mitigasinya cukup di level tertentu dan midle risk dimitgasi pada level kepala divisi. Ini terus diupdate dan dimonitor terus mitigasinya, sehingga dua tahun terakhir tingkat colection ratio PT Inti bisa mencapai 100 persen.
Selain itu, kata Oip, PT Inti termasuk BUMN yang tercepat menyelesaikan audit keuangan. Rasio perubahan laporan keuangan PT Inti dengan hasil audit hanya 2 persen atau 98 persen akurat. “Itu salah satu bukti bahwa governance kita sekarang sudah terjaga,” kata Oip.
Pelaksanaan good corporate governance (GCG) di PT Inti juga rutin dilakukan penilaian, baik dari internal maupun eksternal. “Alhamdulillah nilainya terus meningkat dengan kategori Baik,” ucapnya.
Baca juga Transformasi Radikal, Kunci Membereskan PT Inti
Sebenarnya, kata Oip, secara kasat mata performa PT Inti sudah jauh lebih bagus. Tapi dalam penilaian GCG juga mengukur ekuitas perusahaan yang masih negatif sehingga nilainya tidak bisa plus. “Harusnya dipisahkan antara perusahaan yang sudah mature dengan perusahaan sedang bangkit dari krisis,” kata dia.
Untuk mengantisipasi adanya potensi penyimpangan, manajemen PT Inti rutin menggelar rapat direksi (radir), baik mingguan, bulanan, dan tahunan. Radir ini tidak hanya diikuti direksi, tapi juga senior manager dan para VP. Ada pula monev atau monitor dan evaluasi. “Setiap divisi saya yang mendetailkan sendiri, jadi kalau ada potensi nyangkut akan ketahuan,” kata dia.
Terkait kepemimpinan atau leadership di PT Inti, Oip menerapkan strategi yang berbeda untuk masing-masing fase. Saat awal masuk di PT Inti, dia memegang kendali (take handle) semua proses bisnis, karena perusahaan kala itu sedang krisis. Pada fase pertama ini, Oip mengaku cenderung otoriter. “Keuangan, SDM dan bisnis semua proses, termasuk juga mengubah struktur organisasi itu saya yang pegang,” tuturnya.
Setelah fase ini lewat, Oip mulai mengurangi kontrol-kontrol di struktur organisasi level low dan middle. Sedangkan untuk level high tetap ia pegang. “Sekarang masuk fase ini, baru setelah itu kembali ke job sesuai perusahaan pada umumnya. Saya memerankan posisi dirut yang hanya mengurusi keputusan-keputusan yang bersifat strategik saja,” ujarnya.

Kontribusi ke Negara dan Masyarakat
Sebagai BUMN telekomunikasi yang sudah puluhan tahun berdiri, kontribusi PT Inti ke negara dan masyarakat tidak bisa dipandang remeh. PT Inti sudah melakukan digitalisasi sejak 20 tahun yang lalu. Sentral Telepon Digital Indonesia (STDI) yang ada di berbagai daerah di Indonesia saat ini yang membangun dan menginstal adalah PT Inti.
“Itu teknologi yang mengubah dari sistem analog ke sistem digital. Adanya STDI ini membuat semua kabupaten di Indonesia sekarang bisa go digital,” kata Oip.
Kontribusi berikutnya, PT Inti dalam sepuluh tahun terakhir banyak menggelar jaringan optik PT Telkom dengan panjang sampai ribuan kilometer dari Aceh sampai Papua. Peran yang paling dominan dari PT Inti di sini pada jasa konstruksi dan menggelar kabel fiber optik. “Jaringan ini menjadi salah satu kunci keberhasilan internet saat ini,” ucapnya.
PT Inti juga berhasil membangun sekitar 200 titik PLTS program Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PLN. Sebagian besar itu berada di daerah perbatasan dan terpencil. “Terakhir kita bangun PLTS di NTT, dengan lokasi yang dari Kupang jauhnya 6-7 jam. Itu dalam rangkan menerangi wilayah Indonesia,” tegas Oip.
Sedangkan kontribusi untuk masyarakat kecil, PT Inti punya program Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Meskipun nilainya tidak besar, PT Inti menyisihkan dana TJSL dari net income. “Walaupun situasi susah kita masih memberikan setahun sekitar Rp 3 miliar untuk pinjaman bergulir bagi UMKM,” jelas Oip.