Jakarta, TopBusiness – PT. Bank Aceh Syariah telah menggunakan berbagai sistem aplikasi teknologi informasi (TI) untuk mendukung penerapan Governance, Risk & Compliance (GRC) untuk memastikan implementasikan Good Corporate Governance (GCG) di perusahaan berjalan dengan baik. Di antaranya meliputi Sistem Informasi Kepatuhan (SIK), aplikasi Tingkat Kesehatan Bank, aplikasi RBBR, aplikasi ICAAP, serta pelaporan Whistleblowing System (WBS).
Ini semua diusung dalam upaya meningkatkan daya saing sekaligus sebagai kesiapan memasuki era digital, Bank Aceh telah melakukan transformasi pelayanan dengan memanfaatkan teknologi digital tersebut.
Demikian juga untuk sistem management dan operasional yang juga telah memanfaatkan TI. Seperti sistem integrasi data dan informasi dengan aplikasi Enterprise Resource Planning (ERP), pengelolaan layanan pelanggan, surat elektronik (electronik mail), termasuk juga untuk mendukung penerapan GRC untuk performa dan kinerja manajemen, melalui penerapan manajemen risiko sejalan dengan tuntutan pemangku kepentingan, terutama terkait GCG.
Struktur organisasi Bank Syariah terdiri atas Dewan Komisaris, Dewan Direksi dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Terkait GRC, juga telah dibentuk kelengkapan sistem dan infrastruktur pendukung. Dalam hal ini, terdapat fungsi-fungsi seperti komite audit, komite pemantau risiko, komite manajemen risiko, dan kepatuhan (compliance officer) dibentuk dengan tugas dan wewenang spesifik.
Misalnya Komite Audit yang berada di bawah Komisaris, melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk kecukupan proses pelaporan keuangan. Sedangkan Komite Pemantau Risiko merupakan komite bentukan Komisaris bertugas membantu tugas Dewan Komisaris dalam memantau dan mengelola profil risiko di Bank Aceh Syariah. Melakukan evaluasi terkait kebijakan manajemen risiko, melakukan evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan yang ada.
“Dalam implementasi GCG di perusahaan, Bank Aceh Syariah juga terus melakukan serangkaian terobosan inovasi untuk penerapan GRC. Termasuk di antaranya dengan memanfaatkan TI untuk mendukung implementasi GRC ini. Saat ini Bank Aceh telah menggunakan berbagai sarana teknologi informasi dalam mendukung penerapan GRC untuk memastikan implementasikan GCG pada PT. Bank Aceh Syariah berjalan dengan baik,” ungkap Direktur Kepatuhan Bank Aceh Syariah, Yusmal Diansyah saat presentasi dan wawancara penjurian “Top GRC Awards 2022” yang diselenggarakan Majalah Top Business, belum lama ini.
Untuk mendukung pelaksanaan GCG, perusahaan juga telah membangun sistem untuk penerapan Whistleblowing System (WBS), terutama untuksistem pelaporan adanya pelanggaran. Secara umum pengaturan terhadap pelaksanaan Whistleblowing System telah diatur dalam Buku Pedoman Perusahaan (BPP) Strategi Anti Fraud Bank Aceh, dimana perseroan memberikan kesempatan kepada setiap karyawan, mantan karyawan atau pekerja lainnya, anggota dari suatu institusi atau organisasi, serta pihak lainnya untuk dapat menyampaikan/melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan mengenai adanya dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan GCG kepada perseroan secara pribadi.
“Untuk WBS ini kita juga sediakan akses tersendiri, baik melalui surat, telepon, email serta media lainnya kepada direksi dan sistem ini menjamin kerahasiaan identitas pelapor dan laporannya,” ujar Yusmal Diansyah.
Tahun ini, PT. Bank Aceh Syariah terpilih menjadi Finalis ajang TOP GRC Awards 2022 yang diselenggarakan majalah Top Business bekerja sama dengan sejumlah lembaga terkemuka di Tanah Air. Antara lain Asosiasi GRC Indonesia, Perkumpulan Profesional Governansi Indonesia, CRMS Indonesia, IRMAPA, ICoPI, dll.
Dalam kesempatan itu, ia membawakan materi presentasi bertajuk “Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG)Bank Aceh Syariah”. Disebutkan, untuk kelengkapan sistem dan infrastruktur pelaksanaan GRC di Bank Aceh, antara lain mengacu Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 07 Desember 2009 tentang Pelaksanaan Good Coorporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Selain itu juga mengacu Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/13/DPbS tanggal 30 April 2010 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
“Berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh BPKP tahun 2022, bahwa GRC Bank Aceh telah berjalan baik dan tidak terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan,” ujarnya.
Dengan sistem dan kelengkapan insfrastruktur yang ada ini, secara umum perusahaan juga mampu mengantisipasi adanya risiko bisnis dan melewati masa-masa sulit akibat pandemi Covid-19. Dijelaskan, pada Desember 2021 Bank Aceh mencatat pertumbuhan yang positif walaupun di tengah kondisi pademi Covid-19.
Bank Aceh mampu mempertahankan eksistensi dengan capai kinerja yang baik dimana total aset Bank Aceh meningkat menjadi Rp28,17 triliun atau tumbuh 10,56% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya (year on year/yoy) yang tercatat sebesar Rp25,48 triliun. Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat sebesar 11,33% (yoy) menjadi Rp24,02 triliun dari sebelumnya Rp21,57 triliun. Sedangkan dari sektor pembiayaan mengalami pertumbuhan sebesar 6,98% (yoy) menjadi Rp16,34 triliun dari sebelumnya sebesar Rp15,28 triliun.
Kondisi pembiayaan dan DPK tersebut mendorong Financing to Deposit Ratio (FDR) menurun menjadi 68,06% pada periode yang sama tahun sebelumnya yakni 70,82% dan hal tersebut masih di bawah ambang batas ketentuan Otoritas yaitu sebesar 78%-92%.
Perusahaan juga mampu mencatat perolehan laba setelah pajak yang tumbuh 17,70% dengan capaian Rp. 392,127 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp. 333,158 miliar.
Sekilas, Bank Aceh Syariah merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perbankan atau Bank Pembangunan Daerah (BPD) milik Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang mana dalam sejarahnya perusahaan ini didirikan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota se Aceh yang dalam perjalanannya telah mengalami perubahan dari konvensional ke sistem syariah.
Memulai aktivitas perbankan syariah dengan diterimanya surat Bank Indonesia No.6/4/Dpb/BNA tanggal 19 Oktober 2004 mengenai Izin Pembukaan Kantor Cabang Syariah Bank dalam aktivitas komersial Bank. Bank mulai melakukan kegiatan operasional berdasarkan prinsip syariah tersebut pada 5 November 2004.
Sejarah baru mulai diukir oleh Bank Aceh melalui hasil rapat RUPSLB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) tanggal 25 Mei 2015 tahun bahwa Bank Aceh melakukan perubahan kegiatan usaha dari sistem konvensional menjadi sistem syariah seluruhnya. Maka dimulai setelah tanggal keputusan tersebut proses konversi dimulai dengan tim konversi Bank Aceh dengan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Setelah melalui berbagai tahapan dan proses perizinan yang disyaratkan oleh OJK akhirnya Bank Aceh mendapatkan izin operasional konversi dari Dewan Komisioner OJK Pusat untuk perubahan kegiatan usaha dari sistem konvensional ke sistem syariah secara menyeluruh.
Proses konversi Bank Aceh menjadi Bank Syariah diharapkan dapat membawa dampak positif pada seluruh aspek kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Dengan menjadi Bank Syariah, Bank Aceh bisa menjadi salah satu titik episentrum pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah yang lebih optimal.
Penulis: Ahmad Churry