WACANA untuk menaikkan besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP) bagi wajib pajak orang pribadi (WP OP) di Indonesia kembali mengemuka. Sejalan dengan ide ini, mengemuka pula ide pembebasan pajak untuk penghasilan WP OP sampai dengan batas tertentu. Di sisi lain, besaran PTKP saat ini dianggap terlalu tinggi dan perlu disesuaikan (diturunkan) dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) atau zonasi PTKP.
Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), PTKP adalah pengurangan yang diberikan kepada WP OP dalam negeri dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, selain zakat atau sumbangan keagamaan, biaya jabatan, iuran pensiun/jaminan hari tua, dan biaya-biaya lainnya yang sah.
Nilai PTKP Indonesia saat ini sebesar Rp54 juta lebih tinggi dibanding negara ASEAN, salah satunya Malaysia yang setara Rp13 juta. Lebih rinci, PTKP untuk seorang WP OP di Indonesia adalah sebesar Rp54 juta setahun dengan tambahan untuk WP kawin sebesar Rp4,5 juta dan tambahan untuk tanggungan maksimal 3 orang masing-masing sebesar Rp4,5 juta, maksimal Rp72 juta setahun.
Pro-Kontra Kebijakan PTKP
Dengan menaikkan PTKP, maka penghasilan WP OP yang tidak dikenakan pajak dan siap untuk dibelanjakan (disposable income) akan meningkat dan diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan WP tersebut, termasuk menambah penerimaan pajak konsumsi (Pajak Pertambahan Nilai-PPN). Namun di sisi lain, peningkatan PTKP, apalagi jauh melebihi UMP/UMK dapat menurunkan penghasilan kena pajak yang merupakan basis pajak penghasilan OP (PPh OP) sehingga menyebabkan penurunan penerimaan PPh OP.
Pro-kontra kenaikan PTKP sebenarnya sudah menghangat saat kenaikan terakhir PTKP pada tahun 2016, salah satunya dikaitkan dengan UMP atau UMK. Saat itu kenaikan cukup tinggi sebesar 50% dari semula Rp36 juta menjadi Rp54 juta setahun. DJP menyatakan pemerintah kehilangan potensi penerimaan sebesar Rp20,1 triliun pada tahun 2016. Maka dari itu, dimunculkan wacana untuk menyesuaikan PTKP sebesar UMP atau UMK.
PTKP berbasis wilayah atau zonasi PTKP didukung oleh teori yang menyatakan bahwa PTKP memiliki salah satu fungsi dasar membebaskan pajak dari penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan standar hidup minimum (Jacobs, 1966). Zonasi PTKP sejalan dengan teori tersebut karena UMP/UMR merupakan cerminan dari biaya untuk memenuhi standar hidup minimum yang disusun berdasarkan perhitungan standar kebutuhan hidup layak (KHL) masing-masing wilayah.
Penelitian Alam (2014) menunjukkan bahwa dari 152 UMP/UMK pada tahun 2013, hanya 12 UMP/UMK yang di atas PTKP tahun 2013 (Rp24.300.000,- setahun), dengan kata lain penghasilan minimum pekerja di 140 provinsi/kabupaten/kota bukan lagi merupakan obyek PPh OP. Secara jelas, hal ini menunjukkan bahwa kenaikan PTKP dapat menggerus basis pajak. Dengan kenaikan PTKP tahun 2016, semua UMP/UMK di Indonesia saat ini tidak ada yang berada di atas PTKP (UMK tertinggi Kabupaten Karawang sebesar Rp4.234.010,-), sehingga tidak ada satupun daerah yang penghasilan minimum pekerja di wilayah tersebut yang dikenakan PPh OP.
Di sisi yang berbeda, wacana PTKP zonasi dianggap tidak tepat salah satunya karena PTKP zonasi cenderung akan menyasar masyarakat kecil dan akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Lebih lanjut, penurunan daya beli masyarakat akan berimbas pada konsumsi yang mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan. Kenaikan PTKP diharapkan dapat meningkatkan belanja masyarakat dalam bentuk konsumsi dan dengan peningkatan belanja tersebut, diharapkan akan terjadi peningkatan penerimaan PPN.
Dari dua pendapat yang berbeda di atas, secara garis besar, pendapat pertama menyatakan bahwa kenaikan PTKP akan menurunkan penerimaan PPh OP, sedangkan pendapat kedua menyatakan meskipun menurunkan penerimaan PPh OP, kenaikan PTKP justru akan menaikkan penerimaan PPN. Sebagaimana diketahui, kenaikan PTKP 3 periode terakhir terjadi pada tahun 2013, 2015, dan 2016 masing-masing adalah sebesar 53%, 48%, dan 50%. Maka, untuk melihat relevansi kedua pendapat mengenai dampak kenaikan PTKP, dapat dilihat dari tren penerimaan pajak tahun pajak 2013, 2015 dan 2016 saat terjadi kenaikan PTKP.
Kebijakan PTKP ke Depan
Penerimaan PPh OP (total PPh Pasal 21 dan PPh 25/29 OP) tahun 2013 dan 2015 mengalami kenaikan sebesar 13% dan 11% dari tahun sebelumnya, sedangkan tahun 2016 turun sebesar 6% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, penerimaan PPN tahun 2013 dan 2015 naik masing-masing 15% dan 4% dari tahun sebelumnya, namun sebaliknya tahun 2016 justru turun sebesar 3% dari tahun sebelumnya. Pola yang sama terlihat dari jumlah WP OP yang wajib SPT (yang penghasilannya di atas PTKP) yaitu tahun 2013 dan 2015 tumbuh 4% dan 12%, sedangkan tahun 2016 turun sebesar 19%. (data bersumber dari Laporan Tahunan DJP)
Dari data penerimaan pajak tiga tahun tersebut, terlihat bahwa kenaikan PTKP tahun 2013 dan 2015 diikuti dengan kenaikan penerimaan PPh OP dan PPN, namun sebaliknya diikuti penurunan penerimaan pada tahun 2016. Dihubungkan dengan jumlah WP, kenaikan PTKP yang seharusnya biasanya menurunkan penerimaan PPh OP ternyata tidak terbukti, salah satunya karena adanya kenaikan jumlah WP OP. Namun demikian, besaran persentase kenaikan jumlah WP OP tidak sebanding dengan kenaikan penerimaan PPh OP dan PPN.
Hal ini dapat disebabkan oleh adanya lapisan penghasilan WP OP dan perbedaan tarif atas lapisan penghasilan tersebut. Ditambah lagi, jika dianalisis lebih lanjut, mungkin banyak faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan PPh OP dan PPN selain PTKP antara lain komposisi penghasilan per lapisan penghasilan kena pajak, tarif pajak, jumlah WP OP per wilayah, UMP/UMR, pengecualian PPN barang tertentu, komposisi basis PPN per sektor, tingkat inflasi dan faktor sosial perekonomian lainnya. Sebagai salah satu contoh, meskipun ada kenaikan penerimaan PPN, namun belum dapat diyakini bahwa kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan PTKP, karena bisa saja kenaikan disposable income digunakan untuk meningkatkan konsumsi bahan kebutuhan pokok yang bukan obyek PPN.
Dari uraian di atas terlihat bahwa pro-kontra kenaikan (dan zonasi) PTKP memang masih belum mengerucut pada satu kesimpulan. Maka dari itu, perlu dibuat kajian mendalam berupa kajian ilmiah dengan data rinci yang melihat hubungan kausalitas antara kenaikan atau zonasi PTKP dengan penerimaan PPh OP, penerimaan PPN, daya beli masyarakat, dan perekonomian secara luas. Dalam kajian tersebut, sebaiknya tidak hanya memasukkan faktor pajak, tapi juga faktor sosial perekonomian dan hubungan keterkaitan antar faktor-faktor tersebut.
Hasil kajian tersebut diharapkan menjadi basis pengambilan kebijakan (research based policy) yang tepat dalam penentuan PTKP, dimana di satu sisi tetap mengamankan penerimaan pajak sekaligus di sisi lainnya tetap menjaga daya beli masyarakat dan perekonomian secara umum.
Penulis: Afiat Ria Nabati
Profesi: Pegawai pada Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan*
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan instansi dimana penulis bekerja.