Jakarta, TopBusiness – Implementasi praktik Governance, Risk, & Compliance (GRC) di PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF saat menghadapi pandemi Covid-19 di sepanjang tahun 2020 dan tahun ini ternyata sangat mumpuni. Hal ini lantaran segala langkah antisipatif itu sudah sesuai dengan aturan yang ada di Kementerian Keuangan, selaku pemegang sahamnya.
Mulai dari manajemen risiko, penegakan good corporate governance (GCG), hingga comply dengan regulasi yang ada, telah berjalan dengan baik. Ibarat kendaraan, peran gas dan rem-nya itu berjalan seirama sesuai fungsi saat pandemi ini.
Untuk itu, SMF pun tak alpa untuk melakukan stress test dalam rangka mengukur seberapa besar risiko dan dampak dari pandemi ini terhadap bisnis perseroan. Baik itu yang mendera internal maupun eksternal (mitra bisnis). Apalagi memang, sebagai perusahaan pembiayaan sekunder, tentu kondisi yang dialami oleh mitra bisnisnya akan sangat menjadi perhatian SMF.
Direktur SMF, Trisnadi Tulrisman, menggambarkan hal ini secara komprehensif saat mengikuti proses penjurian TOP GRC Awards 2021 beberapa waktu lalu yang dihelat secara virtual. Dalam presentasi kali ini, Trisnadi didamping tim di bagian manajemen risiko, kepatuhan, dan GCG.
Dikatakannya, pandemi Covid-19 ini telah memberikan dampak besar bagi perseroan. Untuk itu pihaknya telah melakukan langkah-langkah antara lain: pertama, melakukan analisa stress test dan analisa forward looking terhadap potensi risiko dan mitigasinya; kedua, melakukan close monitoring atas kinerja mitra bisnis perseroan; dan ketiga, melakukan penyesuaian kegiatan internal perseroan.
“Langkah untuk melakukan analisis stress test dan forward looking saat pandemi ini memang sesuai dengan PSAK 71. Dari situ kita bisa melihat historical-nya, kewajiban pencadangan, dan sebagainya. Sehingga dapat diketahui risiko yang muncul,” jelasnya.
“Terkait stress test, kita uji soal penyaluran pinjaman yang menunggak atau pinjaman yang high risk. Dari situ kita lakukan CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) sebesar Rp82 miliar. Dan alhamdulillah, untuk debitur kita seperti perbankan, pembayaran mereka tidak ada yang macet. Walaupun saat perencanaan ada risiko pengembalian yang bisa dilakukan tidak 100 persen.”
Untuk diketahui, SMF sendiri merupakan perusahaan BUMN yang berada di bawah Kemenkeu. Pihaknya memiliki produk penerbitan sekuritisasi berupa EBA-SP dan EBA retail, lalu mengucurkan pembiayaan, menerbitkan surat utang (obligasi, sukuk, dan MTN), melakukan pelatihan & advisory, serta menjalankan penugasan khusus.
Untuk pembiayaan ini, perseroan memiliki mitra yakni menyalurkan dana-dana untuk nantinya dikucurkan sebagai Kredit Perumahan Rakyat (KPR) ke bank umum, bank syariah, Bank Pembangunan Daerah, dan perusahaan pembiayaan (multifinance). Khususnya terhadap kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Dalam hal ini, sambung dia, SMF mendukung pemerintah dalam program penyediaan pembiayaan perumahan di tengah pandemi seperti menjalankan pembiayaan KPR untuk masyarakat informal (non fixed income), pembiayaan homestay, penyaluran FLPP, sebagai pelaksana investasi sektor perumahan dalam rangka PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), dan lainnya.
Trisnadi kembali melanjutkan, beberapa risiko yang dihadapi oleh SMF adalah, risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko hukum, risiko operasional, risiko keuangan, dan risiko fraud. Risiko ini didapat dari proses penyusunan risk register berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan risiko yang berpotensi untuk dihadapi.
“Setelah mengdientifikasi delapan risiko itu, kami melakukan risk profiling yaitu proses pemetaan risiko berdasarkan severity and likelihood yang akan dituangkan di dalam laporan profil risiko,” utur Trisnaldi.
R. Wisnu Prihartono, Kepala Divisi Manajemen Risiko dan Kepatuhan SMF menambahkan, dalam rangka memutuskan satu kebijakan, pihaknya yang berada di bagian manajemen risiko senantiasa berkoordinasi dengan divis lain sebelum nantinya diajukan ke direksi. Secara teknis, kata dia, setiap ada pengajuan bisnis, divisi bisnis membuat analisa pembiayaan dan pihaknya menyusun analisa risiko.
“Itu nantinya didiskusikan di komite kredit dan kemudian ditetapkan langkah-lankah yang bisa ditetapkan, ‘setuju atau tidak setuju’ dan kita berikan rekomendasi kepada direksi,” ucap Wisnu.
“Selain itu, untuk memastikan kegiatan bisnis yang dijalankan sesuai manajemen risiko, kami juga memiliki internal rating terhadap bisnis yang sudah atau akan dikerjakan. Tools ini untuk mengukur, sesuatu itu layak atau tidak layak untuk dibiayai,” beber Wisnu dengan menganalogikan harmonisnya peran gas dan rem layaknya sebuah kendaraan itu.
Wisnu juga mengurai, pihaknya memiliki aplikasi IT dalam bentuk e-WS (warning system secara elektronik). Dalam hal ini, e-WS ini sebagai mekanisme pemberian peringatan ke rekan bisnis dalam satu kondisi tertentu, termasuk parameternya.
Penguatan GCG
Selain manajemen risiko, lanjut Trisnaldi, dalam implementasi GCG, pihaknya sudah memiliki framework penerapan GCG yang berpatokan terhadap dua regulasi dari Kemenkeu, pertama, PMK Nomor 88/PMK.06/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Pada Perusahaan Perseroan (Persero) Di Bawah Pembinaan Dan Pengawasan Menteri Keuangan.
Kedua, dan KMK Nomor 505/KMK.06/2020 tentang Pedoman Penilaian dan Evaluasi atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Perusahaan Perseroan (Persero) di Bawah Pembinaan dan Pengawasan Menteri Keuangan. Juga dipadu dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dari manajemen, baik itu kebijakan umum maupun pedoman-pedoman pelaksanaan GCG.
“Dengan skor GCG kami berdasarkan assessment dari BPKP adalah 84,79 (baik) di tahun 2020 lalu. Sebelumnyam BPKP juga telah melakukan evaluasi atas penerapan GCG perseroan tahun 2018 lalu dengan hasil skor 78,94,” ujar Trisnadli lagi.
Terkaik hal ini, pihaknya juga mengembangkan nilai-nilai perusahaan dalam hal implementasi GCG, yakni yang termuat dalam “I SMF”. Ini terdiri dari empat nilai yakni, Integrity, yaitu, “Prinsip kami dalam menjalankan setiap aktivitas dengan berpegang kepada prinsip-prinsip etika moral dan etika bisnis yang baik.”
Lalu, Synergy, adalah “Proses yang kami jalankan untuk menghasilkan nilai tambah maksimal dalam setiap interaksi dengan menciptakan kerjasama yang kreatif.”
Kemudian, Motivation, yakni “Komitmen kami untuk mencapai hasil terbaik dan terbuka menerima ide-ide baru yang didukung oleh energi yang datang dari diri sendiri.”
Dan, Focus, adalah “Cara kami mengidentifikasi, memahami dan memberikan prioritas untuk memenuhi kebutuhan para pemangku kepentingan utama.”
Kinerja Positif
Implementasi GRC secara terintegrasi tak bisa disangkal lagi telah berkontribusi besar terhadap kinerja SMF selama tahun 2020 lalu yang tetap positif. Kendati dihajar badai pandemi, namun beberapa pos keuangan tetap menorehkan hasil yang baik. Seperti total asset mengalami kenaikan 21,75% secara year on year (yoy), dari Rp26,698 triliun di 2019 menjadi Rp32,506 triliun di akhir 2020.
Lalu, total ekuitas (setelah CKPN) juga terkerek 22,24% (yoy), dari Rp9,348 triliun menjadi Rp11,428 triliun. Selanjutnya, pendapatan melambung sebesar 26,06% (yoy), dari Rp1,863 triliun menjadi Rp2,348 triliun. Untuk laba bersih juga karena ada CKPN, masih turun tipis 0,65% (yoy) dari Rp472,89 miliar menjadi Rp469,8 miliar.
Hanya saja, total liabilitas juga ikut terkerek naik sebesar 21,49% secara tahunan menjadi Rp21,077 triliun, padahal di tahun sebelumnya masih di posisi Rp17,349 triliun.
“Tahun 2020 merupakan tahun yang penuh tantangan sejalan dengan adanya perubahan signifikan atas lingkungan strategis perseroan baik yang bersumber dari lingkungan eksternal maupun internal perseroan,” jelas Trisnaldi.
Dengan tahun yang berat itu, maka perseroan menyesuaikan RKAP 2020 lalu yang lebih rendah dibanding 2019 terhadap kegiatan utama perseroan, yakni penyaluran pinjaman, sekuritisasi, dan pendanaan dari pasar modal. Meski begitu, secara realisasi, ternyata bisa menyalip RKAP. Sekalipun memang secara tahunan melorot.
Untuk pengucuran pinjaman selama 2020 lalu sebesar Rp6,414 triliun atau melampuai 105,37% dari RKAP 2020 yang di angka Rp6,087 triliun. Lalu pendanaan yang bersumber dari obligasi dan pinjaman lainnya terkumpul Rp8,447 triliun atau 98,18% dari RKAP 2020 di posisi Rp8,604 triliun. Dan terakhir, kegiatan sekuritisasi berhasil dikolek Rp631 miliar atau sebesar 105,17% dari RKAP 2020 yakni Rp600 miliar.
FOTO: TopBusiness